Wednesday, August 3, 2011

Maaf

Oleh: Nadia Almira Sagitta


Ada seorang gadis kecil terduduk di pojok kamar.

Ia sedang bersedih, wajahnya muram, kepalanya ditundukkan sedari tadi.

Tangannya yang kurus memeluk kedua lututnya, membenamkan wajahnya di sana.

Bulir-bulir air mata mengalir, membasahi kedua pipinya…

Isakan tangis pun terdengar, menggema di kamar kosong itu.

Sedapat mungkin ia mengecilkan suaranya, tapi tak dapat ia lakukan

Terlalu sedih, terlalu berat, terlalu sakit untuk ditahan-tahan

Sedari tadi bibirnya bergetar meluncurkan kata “maaf”

Maaf…Maaf… Maaf…Maaf…

Ditujukan kepada seseorang yang entah masih mengingatnya ataukah tidak

Tapi sungguh, ia benar-benar meminta maaf

Meminta maaf atas perlakuannya terhadap ‘seseorang’

Meminta maaf atas sikapnya selama ini

Meminta maaf telah membuat ‘seseorang’ itu bersedih

Meminta maaf pabila ia telah menyakiti hati ‘seseorang’

Meminta maaf karena telah mengecewakan hati ‘seseorang’ itu

Tak habisnya kata maaf itu mengalir dari mulutnya…

Sungguh, hal ini sangat mengganggu hatinya

Hingga hanya kata maaf yang dapat ia ucapkan sambil menangis.

Semakin lama, mata gadis itu makin basah oleh air mata

Diusapnya beberapa kali, tak juga menghentikan isak tangisnya

Hatinya berat dan sakit, ada sesuatu yang meresahkan hatinya

Yang pada akhirnya membuatnya terus mengeluarkan air mata, menandakan kesedihannya

Ingatannya melayang ke masa lampau, kejadian-kejadian indah itu, saat ia bimbang dilema

Dirangkaikan satu persatu, dihubungkan, hingga akhirnya tersambung dengan kejadian yang ia alami sekarang ini.

Kejadian yang sejak tadi, membuatnya muram.

Ia ingin menyesal tapi tak bisa.

Ia telah memutuskan suatu hal…

Dan ia harus konsisten dengan keputusannya.

Terlalu terlambat untuk memutar dan mengulangi semuanya.

Apalagi untuk menyesalinya.

Menyesal itu tiada guna lagi untuk sekarang ini.

Apa daya, semua telah terjadi.

Nasi sudah menjadi bubur, pikirnya.

Mengingat semua itu, tangisannya kembali membuncah…

Bibirnya kembali mengurai kata “maaf”

Hanya kata maaf, tangisan, dan kesendirian yang menemaninya malam itu.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Aku hanya memandangi gadis itu dari balik pintu

Aku paham dengan keadaannya.

Ia tersudut antara dua pilihan yang sulit

Menyangkut perasaan dan hati kecilnya.

Berlawanan arah…

Aku sempat melihatnya bimbang akhir-akhir ini.

Ia lebih sering menyendiri, berdialog bersama tuhannya

Memanjatkan doa, meminta jalan keluar…

Setiap hari, setiap jam, setiap menit.

Tiap kali aku melihatnya berdoa, setiap kali itu juga tangisannya meleleh…

Aku tahu kesedihan sedang membelenggunya, kesedihan yang begitu dalam.

Yang tiada dimengerti oleh siapapun, terkecuali dirinya sendiri.

Hanya dia yang mengerti, bahkan mungkin ‘seseorang’ yang secara tidak langsung membuatnya sedih pun, tak akan mengerti…

Memang, hanya dia yang mengerti

Memang, dia sendiri yang membuat dirinya sedih

Memang, dia sendiri yang membuatnya dirinya berkesusahan hati

Memang, dialah yang mencari gara-gara

Namun, aku sendiri tak bisa menyalahkan dirinya atas kesedihan yang dia buat sendiri

Aku paham, dia mempunyai alasan tersendiri dibalik keputusannya

Aku yakin, apapun keputusannya, telah ia pikir dengan matang.

Dan aku harap, jalan apapun yang ia pilih, itulah yang terbaik untuknya.

Semoga.

No comments:

Post a Comment