Wednesday, August 3, 2011

Cintaku Kepada Pelayan Kafe

Oleh: Nadia Almira Sagitta


Kulangkahkan kakiku menuju satu coffee shop terdekat dari kampus. Sore itu, keadaan sangat lengang. Yah, baguslah, dengan demikian aku bisa duduk tenang menikmati coffee latte pesananku. Kuangkat cangkir kopi yang masih panas, persis di depan hidungku, mencium aromanya sebentar, lalu menghirupnya pelan. Nikmat sekali, paduan kehangatan kopi dengan dinginnya hawa di luar sana. Sambil meminum kopi, aku membolak-balik majalah Kawanku terbaru yang kubawa sedari tadi. Bosan membaca, pandangan kusapukan ke tiap sudut kedai kopi ini. Tiba-tiba, pandanganku terhenti pada satu titik. Seseorang. Lelaki. Membawa notes kecil di tangannya. Dengan apron berwarna coklat susu. Sebenarnya biasa saja, ia hanya seorang pelayan di coffee shop ini. Entah apa yang membuatku tertarik padanya. Mungkin karena aku tak pernah melihatnya di sekitar sini. Sepertinya ia pekerja baru. Pandanganku tak lepas daripadanya, kutopang daguku di atas tangan, melihatnya dengan leluasa. Namun, sepertinya ia merasa ada yang telah memperhatikannya sedari tadi. Dia menolehkan pandangan, membalas tatapanku. Salah tingkah, aku memalingkan wajahku ke arah jendela. Memandang titik-titik air yang tertinggal di sana.

* * *

Lagi, siang ini aku datang ke coffee shop itu. Memesan coffee latte langgananku. Aku bermaksud mengerjakan tugas kuliahku di sini. Suasananya tenang, tak seperti di kosan, ribut. Hmm, well… Di mana pulpenku? Ini dia! Aih aih, pulpennya bocor! Tinta hitam itu -tanpa rasa perike’tinta’an- mengotori jemariku. Aku menuju toilet hendak membasuh tanganku, dan tiba-tiba saja aku melihat pemuda itu lagi. Untuk yang kedua kali. Hanya lintas lalu, namun sanggup membuat hatiku berdebar tidak karuan. Lengan bajunya yang digulung, tubuh tegapnya, wajahnya yang masih basah terkena air, menawan. BRUKK!

“Hati-hati mbak!” tegur seorang ibu berbadan buntal, (ups!)

“Ah yaa? Maaf bu, maaf… Saya tidak sengaja.”

“Makanya, kalau jalan lihat-lihat.” nasihatnya. Cukup menyinggung. Ah, semua ini gara-gara pemuda itu….

Cepat-cepat aku membereskan bukuku, tiba-tiba saja ada kabar Adira teman kosanku kecelakaan. Segera kupanggil taksi dan melesat ke rumah sakit tempat Adira dirawat. Hmm, UGD.

“Hai, Dir! Eh, kamu nggak papa kan?”

“Ah, enggak. Luka ringan aja.” jawabnya menunjukkan memar di siku, lutut, juga betisnya.

“Yah, kok bisa jatuh sih?”

“Tadi, ada yang berusaha merampas tasku. Ya, aku pertahanin tasku dong. Nggak nyangka malah jatuh.”

“Kamu juga sih. Tas doang padahal. Kenapa nggak direlain aja?”

“Mana bisa, Yas. Tas itu kan hadiah ulangtahunku dari Kevin. Mana mungkin aku ngerelain dirampas gitu aja?”

“Ooo, ada kenangannya toh.. Haha, ya udah. Tapi udah nggak papa kan? Pulang yuk, ntar aku yang bawa motor.”

Setelah mengurus administrasi, kami berdua keluar dari ruang UGD. Dan anehnya, aku bertemu pemuda yang bekerja di coffee shop itu! Dia ngapain ya, di sini? Lagi-lagi, aku diam terpaku menatapnya, mengikuti langkahnya yang ternyata menuju ruang ICU. Waaa~ tampan beneeer.

“Woii Yas! Yasmin! Ngeliatin siapa sih?” Adira menegurku sambil mengibaskan tangannya tepat di depan wajahku.

“Ah, enggak kok. Pulang yuk.” jawabku tersipu malu. Sumpah, pemuda tadi… Benar-benar mengalihkan duniaku. (now playing: Wajahmu Mengalihkan Duniaku – Afgan)

Sesampainya di kosan…

“Dir, kamu percaya enggak sama cinta pada pandangan pertama?” tanyaku.

“Love at the first sight? Ah enggak tuh. Mana ada cinta begituan.” jawabnya enteng.

“Ah, tapi… ng, udahlah.”Aku mengurungkan niatku untuk membahasnya lebih lanjut. Aku juga masih ragu akan perasaanku.

“Eh Yas, nyari makanan buat ntar malam dong, kan giliranku udah kemaren.” kata Adira mengingatkan.

“Oh iya, iya. Tunggu ya, aku mandi dulu.”


Seusai mandi, aku menyambar dompetku dan melanglang buana bersama Mio-nya Adira ke sekitaran wilayah kos. Nah, itu ada warung, aku memesan 2 bungkus nasi goreng. Yah, nasib dah jadi anak kos. Makanannya gini-gini aja. Tiba-tiba mataku menangkap sesosok bayangan. Seorang pemuda. Dengan tubuh tinggi tegap, wajah yang kukenali dengan baik dalam memori otakku, berdiri di seberang jalan. Menuju ke sini, ke warung ini. Duh, aku harus gimana nih? Aku rapi enggak ya? Enggak berantakan, kan? Ah, sialan, deg-degan atuh ini... Dia makin mendekat, hingga akhirnya tegak persis di samping mas penjual, yaitu di depanku. Hendak memesan apa ya dia? Kasihan, dari tadi dia nggak direspon sama penjualnya. Sambil menunggu pesananku jadi, aku beralih duduk di bangku dan memandang ke arah lain, yang berlawanan dengan pemuda itu. Nggak sanggup ah kalau harus memandangnya lagi. Andai aku es krim, bisa-bisa aku lumer! Hatiku pun dag dig dug tidak karuan. Pandangannya itu loh, sumpah, menghanyutkan. Lebay ya? Maaf deh.

“Mbak, ini pesenennya. 2 bungkus nasi goreng kan?” ujar si penjual.

“Oh iya, berapa ya Mas?”

“Kayak biasa aja, Mbak. Rp 15.000,”

Aku mengulurkan 3 lembar limaribuan ke tangan si penjual. Pada saat yang sama, tak sengaja, aku melihat pemuda itu melemparkan senyuman kepadaku. Refleks, kutolehkan wajahku ke samping, buru-buru aku menggantungkan bungkusan yang berisi nasi goreng itu di stang motor, menyalakan motor, dan meluncur pergi dari tempat itu. Sumpah, salting!

“Assalamualaikum, Dir. Adira! Tuh, makanannya ada di atas meja.” sahutku dari ujung pintu kamarnya.

“Oke deh, thanks ya!”

Aku berjalan perlahan ke arah kamar atau biasa kusebut rumah kecilku yang bersebelahan dengan kamar Adira. Kulempar tasku di sudut kamar, dan aku merebahkan diriku di atas kasur yang tak bisa kubilang empuk itu. Hari yang melelahkan, penuh oleh bayangan pemuda itu. Apa ini sebuah kebetulan ataukah aku dan dia… berjodoh? 3 kali sudah aku bertemu dengannya hari ini. Dan sudah 3 kali pula aku terpesona olehnya. Aih aih… Sekedar mengetahui namanya pun tidak. Berkomunikasi apalagi. Tapi dia mampu menggetarkan hatiku hanya dengan tatapan matanya yang tajam juga senyuman hangatnya. *Tok..Tok..Tok..*

“Yasmin, aku makan di kamarmu yah? Boleh masuk nggak?” suara Adira.

“Iya, masuk aja,” ucapku malas.

“Hai, Yas. Kamu belum makan? Nggak laper?” tanyanya.

“Ng? Belum terlalu lapar kok,” jawabku sembari melamun, tidak konsentrasi.

“Eh? Kayaknya dari tadi kamu melamun terus deh. Mikirin siapa sih?”

“Hhh, nggak kok. Nggak usah dipikirin…” ujarku, melengos.

“Ayolah, cerita-cerita dong. Ada masalah? Atau… kamu lagi jatuh cinta ya? Cieee cieee.” Ia mulai menggodaku.

“Jatuh cinta? Yeee, sama siapa coba? Nggak tuh, ah, sok tahu kamu.” elakku. Aku mengubah posisi dudukku yang semula selonjoran kaki menjadi duduk bersila, memberikan tempat duduk yang lebih luas untuk Adira.

“Hehe, aku menebak saja sih, habisnya kamu ngelamun terus seharian. Biasa itu kan tanda-tanda orang jatuh cinta. Ngelamunin inceran melulu.” ujarnya sambil tertawa. Lanjutnya, “Udah deh, daripada ngobrol nggak jelas gini, mending kamu cepetan ambil bungkusan makananmu terus makan sama aku di sini.”

Aku menuruti apa katanya, mengisi perut yang telah berbunyi sedari tadi. Keroncongan.

Senja berganti malam, matahari menenggelamkan dirinya, membiarkan bulan bertengger di singgasana langit. Adira sudah kembali ke kamarnya sejak tadi. Aku pun terduduk sendiri di kamar. Kulirik buku kuliahku kemudian teringat akan banyaknya tugas yang diberikan dosen dan harus dikumpulkan seminggu lagi. Namun hasrat untuk mencicil tugas itu belum juga datang padaku. Mataku beralih pada tumpukan kertas HVS dan pensil 2B yang tak jauh terletak daripadanya. Kertas dan pensil, identik dengan menggambar. Sudah lama aku tak mengguratkan sesuatu di sana. Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju meja belajarku tak lupa kubawa secarik kertas. Beberapa saat, aku menulis-nulis sesuatu yang tidak jelas. Meremas kertas itu lalu membuangnya, dan tanganku meraih secarik kertas lagi, tanpa sadar aku mulai membuat satu sketsa. Sketsa wajah. Laki-laki. Ah, pemuda itu lagi. Dia, siapa sih? Namanya? Tinggal di mana? Apa di dekat kosanku? Bagaimana sifatnya? Potongan-potongan pertanyaan itu bermunculan satu per satu. Aku dibuatnya penasaran.

Sudah seminggu aku disibukkan oleh kuliah dan tugas yang bertumpuk. Untuk sejenak, bayangan pemuda itu sirna dari hidupku. Well, hidupku tidak hanya mengorbit pada pemuda itu, kan?

“Yasmin! Tolong dong pegangin ini bentar!” pinta Tunisia, teman sekampusku. Ia menyerahkan setumpuk kertas dan buku padaku. “Aku mau mengikat tali sepatu soalnya. Tolong ya.” Ia merunduk, membetulkan simpul sepatunya yang terlepas.

“Eh, kayaknya kamu buru-buru banget deh ya? Mau kemana Nis?”

“Makasih ya udah dibantu, iya nih aku mau kerja part-time di Coffee Shop seberang kampus kita itu lho.” jawabnya. Mendengar kata ‘Coffee Shop’ aku tertarik. Dan aku mulai melontarkan pertanyaan yang lain,

“Nis, kamu sudah lama kerja di sana?”

“Mmm, baru-baru saja sih, sekitar 2 minggu yang lalu lah, pegawai baru nih.” Ah, ternyata Tunisia belum lama menjadi pegawai di sana, tapi apakah mungkin ia mengenal pemuda yang kumaksudkan?

“Duluan ya, Yas! Bye~ see ya!” ia setengah berlari meninggalkanku. Aku termangu, bingung hendak ke mana. Akhirnya kuputuskan untuk mengunjungi coffee shop itu lagi. Aku berjalan keluar dari kampus, menyeberangi jalan, tak sampai 50 meter aku sudah tegak di hadapan tempat ini. Kudorong pintunya dan senyum ramah para pegawai seketika menyambutku. Selain interiornya yang menampakkan kesan calm dan juga nyaman, pilihan kopi yang beragam, sekarang aku mempunyai alasan lain yang membuatku tidak kunjung bosan mendatangi tempat itu. Ya, karena kehadiran pemuda itu. Aku ingin mengenalnya lebih jauh. Dan, ternyata pegawai kasir siang itu yang melayaniku adalah Tunisia.

“Hei, ketemu lagi Nis! Eh, kok aku nggak pernah ketemu kamu ya 2 minggu yang lalu? Padahal aku sering datang ke sini lho.” sapaku pertama kali.

“Ah iya, aku sering kebagian shift sore. Jadi, nggak ketemu deh kita di siang terik begini. Mau pesan apa?” ujarnya sambil menyunggingkan senyum. Wah, dia punya gesture yang cukup bagus untuk jadi kasir. Ramah dan murah senyum.

“Iced Americano satu. Sama orange marmalade cake-nya ya.”

“Oke, semuanya jadi Rp 38.000”

Aku membalas senyumnya, dan kubuka zipper dompetku. Mengangsurkan lembaran uang kepada Tunisia dan beranjak menuju meja yang bersebelahan dengan jendela. Minuman yang kupesan belum kusentuh sedikitpun. Kulayangkan pandangan ke setiap sudut kafe ini. Batang hidung yang kutunggu belum juga nampak. Hingga sudah 2 gelas kopi kuhabiskan, sosoknya belum juga muncul. Kecewa, aku meninggalkan kafe itu dengan tangan hampa. Tanpa berhasil membawa satu raut mukanya dalam benakku hari itu.

“Tunisia, ngg… Kamu kenal dia nggak?” tanyaku sambil menyodorkan sketsa wajah pemuda tersebut suatu hari. Tunisia mengerutkan kening, mencoba menganalisa gambaran mengenainya. Namun, sekejap ia menggeleng. “Maaf, aku tidak mengenalnya, Yas. Memangnya kamu ketemu dia di mana?” tanyanya. Seketika, mengalirlah kisah mengenainya. Awalku bertemu, kebetulan-kebetulan yang terjadi, hingga pemuda itu merebut hatiku dan memenangkannya. Tunisia terdiam sebentar, dan mengambil kesimpulan, “Jadi, kamu jatuh cinta padanya pada pandangan pertama? Ya ampun, Yas… Masakan kamu jatuh cinta pada pemuda yang nggak jelas begitu? Lagi katamu, ia partner kerjaku? Waiter ya? Ya sudah deh, nanti aku coba cari info tentang dia ke teman-temanku ya. Aku pulang dulu.” pamitnya, berjalan memunggungiku. Seolah mendapatkan titik terang, aku tersenyum lebar. “Makasih ya, Nis! Kutunggu infonya!” sahutku dari kejauhan. Sebentar lagi, akan kukenali siapa dirimu wahai pemuda! Aku tak sanggup menahan gelegak gembira yang bergelora di hatiku, setidaknya aku tak akan mati penasaran karenanya, betul?

* * *

“Yas! Yaaas! Yasmiin!” panggil Tunisia tergesa.

Aku menghentikan langkahku kemudian berbalik menatapnya, “Ada apa?”

“Aku sudah tahu, siapa dia!” ucapnya begitu meyakinkan.

“Haaah? Siapa? Siapa?”

“Nih, lihat.” katanya memberiku sebuah buku album bersampul cokelat. Terlihatlah foto-foto karyawan Coffee Shop “Latte” dengan berbagai macam gaya. Ada yang sedang melayani pelanggan, ada juga saat mereka curi-curi waktu berfoto tanpa ketahuan atasan mereka. Haha, tidak kusangka, juga ada foto diriku sedang menyeruput secangkir Mocchacino. Sampailah di halaman ketiga terakhir. Terpampanglah foto pemuda itu berdiri gagah, melipat kedua tangannya, dan melontarkan senyum. Sialan, senyum menghanyutkannya itu kembali meliputi batinku. Kubuka halaman selanjutnya, Tunisia menungguku. Ada beberapa fotonya yang dilekatkan di album itu. Ada satu tulisan di sana,

*In Memoriam, pegawai favorit kafe ini, Rendra Wicaksono Saputra. Semoga kamu tenang di alam sana…* Dan di halaman paling akhir, ada foto kuburan Rendra bertabur bunga, dikelilingi oleh rekan-rekan kerjanya.

Apa??? Dia… udah nggak ada? Kutatap wajah Tunisia, meminta penjelasan.

“Dia udah meninggal Yas. Aku baru tahu dari bosku kemarin sore. Katanya, tertimpa kecelakaan motor yang lumayan parah. Motornya aja sampe hancur gitu. Kejadiannya, sekitar satu setengah tahun lalu. Dia…”

Tak kudengarkan ocehan Tunisia selanjutnya, tubuhku lemas tak berdaya seketika. Itulah mengapa alasannya aku menangkap bayangan dirinya di rumah sakit. Itulah mengapa dia tak dilayani dengan segera oleh penjual nasi goreng. Karena dia memang tidak ada. Hanya sekelebat bayangan tanpa nyawa. Jadi… Selama ini aku menyukai sesosok hantu? Ya ampun. Brukk! Tubuhku jatuh pingsan. “Lho? Yasmin? Yas!” jerit Tunisia kaget.

No comments:

Post a Comment