Sunday, April 6, 2014

Ada rasa hangat yang menjalar ketika kubaca ulang tulisanku mengenai mimpi kedelapan. Rasa damai itu kembali merasuk, membuatku pipiku merona merah, menarik kedua ujung bibirku membentuk lekuk senyuman. Aku pernah memimpikan keluargamu.

Wednesday, April 2, 2014

Vivo per Lei

Vivo per Lei da quando sai
La prima volta l’ho incontrata,
Non mi ricordo come ma
Mi è entrata dentro e c’è restata.
Vivo per Lei perché mi fa
Vibrare forte l’anima,
Vivo per Lei e non è un peso.

(Andrea Bocelli)

Tersentuh, aku menangis. Aku tak tahu, apakah ini pengaruh lirik yang begitu indah atau karena perasaanku sedang begitu sendu. Aku masih ingat ketika pertama kali berjumpa denganmu. Kau begitu cerewet dengan botol Coca-cola dan permen Mentos. Pertemuan itu meninggalkan kesan lucu di hatiku. Hingga lama-kelamaan sosokmu mendekam di sana untuk beberapa lama. 

Lei è di tutti quelli che
Hanno un bisogno sempre acceso,
Come uno stereo in camera,
Di chi è da solo e adesso sa,
Che è unico per Lei, per questo
Io vivo per Lei.

Kamu, sosok yang begitu periang, akrab dengan semua orang, aktif di segala lini. Kamu milik semua orang. Terlalu picik jika aku menganggapmu milikku seorang. Padahal kau pun tak pernah menyadari keberadaanku. Pernah sekali waktu, kita dekat. Dekat sebagai sahabat. Bertukar canda dan tawa, berbagi resah dan luka. Kemudian, bunga-bunga itu perlahan layu. Kau ditarik oleh waktu, kau dipisahkan dariku. 


è un dolore quando parte.
Vivo per Lei dentro gli hotels.
Con piacere estremo cresce.
Vivo per Lei nel vortice.
Attraverso la mia voce
Si espande e amore produce.

Aku tak lagi menemukan padang bunga di jejaring sosial. Aku tak lagi menemukan dirimu di aplikasi VoIP yang sempat membuat kita dekat. Aku tak lagi menerima pesan darimu. Retak, kau tahu? Sedang kau tampak bahagia di pulau sana. Aku tak mungkin mengusik kebahagiaanmu dengan rengekan dariku yang meminta kau kembali untukku. Tidak. Aku hanya dapat mengirim rindu ketika menjejaki daerahmu. Merindu ketika membuka-buka percakapan kita yang telah lalu. Aku tak menyadari perbuatan itu menggerogoti diriku perlahan-lahan. Merampas raut bahagia di wajahku untuk beberapa waktu.


Vivo per Lei perché mi da
Pause e note in libertà
Ci fosse un’altra vita la vivo,
La vivo per Lei.

Hingga kini, aku belum melupakanmu sepenuhnya. Rasa itu memang telah pudar, tetapi aku tak bisa melupakan jasamu yang mengantarku ke gerbang ini. Takdir itu memang nyata Tuan, ada atau tidaknya hadirmu, ia tetap akan berjalan sebagaimana mestinya. Namun, kau perantara yang dikirimkan Tuhan untuk membantuku berdiri di sini. Terima kasih atas pendewasaan diri yang kau ajarkan tanpa kau sadari. 


Juga, terima kasih atas sapaanmu sehari lalu. Aku bangga dengan diriku yang mampu bersikap normal di hadapanmu. Thanks to Allah, He helps me to move on. ^^