Wednesday, October 28, 2015

Cerita Hijrah

Hari ini ketemu seorang ummu dan anak balitanya. Ummunya bercadar dan anaknya berkerudung plus cadar yang digantungkan di lehernya. MasyaaAllah, imut sekali. :D

Hari ini aku kilas balik ke empat tahun lalu ketika aku iseng-iseng mencoba berjilbab. Aku ingat sekali ada panggilan hati untuk berjilbab, tetapi aku masih ragu. Jadilah suatu hari aku berjalan-jalan dengan membawa kerudung dan jaket di tasku. Sesampaiku di musala, kukenakan kerudung dan jaket tersebut. Voila, jadi muslimah berjilbab! Aku keluar dengan hati-hati dan sedikit malu. Aku bersalah nggak, ya, iseng berjilbab padahal hati belum mantap? Ah, tetapi aku penasaran! Semoga aku nggak dianggap orang-orang yang mempermainkan syariat, begitu pikirku. Hari itu aku jalan-jalan ke mal sendirian dengan jilbabku itu. Panas matahari sangat menyengat, tetapi entah mengapa aku merasa adem-ayem saja. MasyaaAllah. Itukah rasanya? Nyaman sekali. Merasa dipayungi malaikat, kalau aku boleh lebay.

Sepulangnya dari berjalan-jalan, aku mampir lagi ke musala dan melepas jilbab dan jaketku. Hal itu terjadi berulang-ulang. Aku pun sempat kepergok temanku di masa 'latihan' itu. Mereka kaget dan ikut mendoakanku. Jadilah aku seperti sekarang, berjilbab. Alhamdulillah.

Hidayah itu dijemput, ukhti. Jangan tunggu diri ini sempurna untuk berubah ke arah yang lebih baik. Jejakkan langkah pertama, insyaaAllah selanjutnya akan lebih mudah. Yang perlu kau lakukan hanyalah memulai. :')

Kalau kalian melihat teman yang mulanya nggak berjilbab lalu lantas berjilbab dan keesokan harinya lepas lagi, jangan sinis. Don't judge a book by its cover. Barangkali itu caranya menjemput hidayah. Dia sedang berusaha memantapkan hati dengan caranya sendiri. Doakan ia saja. ♡ 

Ini ceritaku hijrahku, kalau kamu?

Tuesday, October 27, 2015

Layang-layang

Hari ini aku melihat layang-layang. Mengangkasa seorang diri di langit biru. Seketika ingatanku tertuju pada suatu sore di bumi Sulawesi.

"Nadia, Fira, main layangan, yuk!"
"Ayo! Di mana, Ayah? Depan rumah?"
"Di jalan baru aja. Lebih luas." 
"Bunda ikut?"
"Nggak, Bunda di rumah aja. Kalianlah yang pergi."
 
Jalan baru yang Ayah maksudkan itu jalan Hertasning Baru, tembusan Hertasning sampai Sungguminasa. Tanahnya masih merah, tetapi tidak lagi berbatu. Kami main layang-layang di sana. Aku memegang layang-layang berekor biru dan Ayah mencoba untuk menerbangkannya. Aku juga mencoba menerbangkan layang-layang dengan Fira yang menjadi pemegangnya.

Saat itu angin tidak begitu kencang jadi layang-layang kami terbang rendah. Aku, Ayah, dan Fira berteriak kegirangan ketika layang-layang kami meliuk-liuk tinggi di udara. Tak lama, ada seekor lelayang yang menghampiri layang-layang milik kami. Cieee, si layang-layang punya pacar! Dua layang-layang berarakan romantis di langit Hertasning. Hahaha. 
 
"Itu layangannya mendekati punya kita terus, deh."
TASSSS!
"Yaaaah, yaaaah, layangan kita putus."
"Aduh, jahat juga, tuh, penerbangnya. Apa boleh buat. Kita pulang, yuk?"
"Besok main layangan lagi, Yah?"
"Iya, nanti beli lagi."
 
Hari ini aku melihat layang-layang. Pikiranku serta-merta terbang ke masa lalu. Ada dua tawa bahagia bocah perempuan yang tercipta karena usaha seorang Ayah. Kutatap layang-layang di cakrawala sekali lagi. Berimajinasi bahwa dirikulah yang mengangkasa menyentuh awan dan merasakan embusan udara dari atas sana. 
 
Salam,
Nadia Almira

Friday, October 23, 2015

Esai

Hari ini ditanya kawan perihal cara menulis esai. Woalah, sudah kesekian kali aku ditanya seperti ini. Mauku bungkam karena aku sendiri tak bisa menulis esai, tetapi tentu tak boleh seperti itu. Aku mahasiswi sastra Indonesia, setidakcintanya* aku pada dunia sastra, aku diharapkan mempunyai pengetahuan mumpuni untuk itu. Aku calon sarjana: linguistik, sastra modern, dan sastra klasik Indonesia. ♡ Mesti bisa semuanyaaaaaaa.

Akhirnya, kuberikan ilmu yang kupunya tentang penulisan esai. Aku ikut membaca tulisan dia dan mengoreksi kesalahan penulisan serta cacat logika dalam tulisannya.

Terlepas dari sempurna atau tidaknya koreksianku, aku senang. Aku senang dihubungi teman-teman semasa sekolah. Aku senang menjadi rujukan mereka tentang hal-hal berbau sastra dan bahasa. Semoga terus begini. Semoga dengan ini mereka sadar, jurusan sastra itu banyak pula kontribusinya pada negara. ♡

Salam,
Nadia Almira Sagitta

(*) aku suka sastra, tetapi sebagai penikmat, bukan pemecah rahasianya.

Thursday, October 22, 2015

Akademisi bin peneliti

MasyaaAllah. Allah benar-benar baik!

Baru saja mendaftarkan diri ke sebuah konferensi yang masih dijadwalkan akhir November. Eh, tahu-tahu pendaftarannya sudah ditutup. Alhamdulillah, panitia konferensi masih bersedia menyimpankan kursi untukku. Ah, terima kasih, Pak!

Ketika kau sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, kau pasti akan mengejarnya sampai dapat, bukan? 

Aku belum tahu dengan siapa aku akan berangkat ke lokasi acara. Hm, mungkin sendirian? Soalnya, teman-temanku belum memberi pertanda akan mengikuti konferensi yang serupa. Nggak apa-apa, deh, berangkat sendiri. Saingan dengan pekerja kantoran pagi hari. :p 

Nggak apa-apa juga, deh, kalau terkesan seperti anak bawang di sana. Menjadi pendengar yang bahkan lulus S-1 saja belum! Berada di kerumunan dosen, profesor, mahasiswa S-2, mahasiswa S-3, atau peneliti. Cuek aja, yang penting senang. Iya, nggak? :)

Aku selalu senang berada di antara akademisi. Selalu ada kebahagiaan ketika berada di tengah-tengah orang cerdas. Mengagumi pemikiran mereka, mengagumi dedikasi mereka, mengagumi setiap inci dari sosok mereka. Aku juga mau jadi akademisi bin peneliti. Aku tahu jalanku ke sana masih panjang. Nah, biarkan aku memulainya dari sekarang. Aku memang masih omong besar perihal cita-cita. Memang sih aku belum berkontribusi apa-apa, memang sih aku belum mencoba menjadi presentator di seminar. Akan tetapi, aku yakin suatu saat nanti aku pasti bisa berada di panggung dan mempresentasikan hasil penelitianku!

Aku tahu suatu saat nanti aku akan mendokumentasikan bahasa-bahasa di Indonesia Tengah dan Timur sana. Aku tahu nanti aku bisa berperan dalam penyelamatan bahasa-bahasa yang terancam punah di luar sana. Di sekitar Asia atau Afrika, mungkin? Makanya aku mau masuk SOAS (School of Oriental and African Studies). Siapa tahu bisa bekerja sama dengan HRELP. ♡

Aku tahu apa yang aku mau. Kamu pun seharusnya juga begitu.

Salam,
Nadia Almira Sagitta

Masih latar yang sama

5 April 2014 

Seorang kawan berkata padaku di hijaunya rerumputan klaster, "Aku turut senang dengan kehadirannya di hidupmu."

Ia senang lantaran aku tersenyum berbunga-bunga karena cinta. Aku dan dia lantas melempar pandang ke seberang. Ke danau. Kami diam menikmati semilir angin dan hangatnya mentari. Sibuk tenggelam dalam pikiran masing-masing. Memikirkan cinta yang diharap akan abadi.

2015

"Aku tidak suka kamu bergalau ria karena dia. Lupakan. Tidak ada gunanya ini semua."

Masih di klaster. Masih ada angin yang bertiup pelan. Masih ada mentari, walaupun sinarnya tak lagi lembut. Masih ada rumput, meskipun warnanya tak lagi hijau. Masih ditemani oleh kawan yang sama. Masih kamu yang menjadi topik perbincangan kami. Bedanya, tidak ada senyum pada wajahku. Tidak ada tatapan bahagia yang diberinya, tetapi pandangan yang justru menaruh kasihan.

Aku tersedu di lapangan rumput FIB UI. Aku luruh dan jatuh, hilang arah dan pegangan. Aku membiarkan semua pengunjung klaster menatapku bingung. Barangkali ada juga yang ikut menguping ceritaku. Tidak, aku tidak lagi peduli. Yang kupikirkan hanya aku dan waktu.

Betapa rentang setahun dapat membuatku beralih rasa.
Betapa rentang setahun dapat mengubah dukungan menjadi desakan.
Betapa rentang setahun dapat membuat seseorang yang dulu merentangkan senyum pada bibirku malah mengurai sendu pada wajah indahku.
Dan aku membiarkannya. 

--
Ditulis tanggal 22 Oktober 2015
Tidak mengandalkan sesak dan sakit, hanya ingatan.
Ingatan bahwa aku pernah terperosok seperti itu.

Wednesday, October 21, 2015

Kesempatan Kedua

Allah tidak pernah putus asa akan hamba-Nya. Allah juga tidak pernah menghakimi, "Kau melakukan kesalahan yang berat, mana pantas dipercaya lagi!"

Tidak, tuh.

Allah percaya semua hamba-Nya layak diberikan kesempatan kedua, ketiga, dan seterusnya. Asal ada keinginan untuk bertobat. Lantas siapa kamu yang begitu sombongnya membenci seseorang karena kesalahan masa lalu?

Masa depan siapa yang tahu?
Everyone deserves another chance.

Salam,
Nadia Almira Sagitta

Tuesday, October 20, 2015

Serpih dan turun gunung

Aku tak percaya. Dulu aku mengatakan ini, "Jika pada akhirnya bukan kamu, mau tak mau kenangan kita kujadikan serpih dan kusingkirkan ke titik terpojok hatiku."

Dulu aku bilang begitu. Sekarang mana serpihannya? Nyatanya bukan kenangannya yang kujadikan serpih, melainkan hatiku sendiri. Kegamangan telah meruak sejak Mei, kegelisahan telah memuncak sejak dulu. Akan tetapi, kenangan tersebut masih mengkristal, belum benar hancur menjadi serpihan.

Wahai logika, kapan kau bekerja seperti seharusnya?
Wahai hati, kapan kau memutuskan 'tuk turun gunung? Sudah mencapai puncaknya, bukan? Sudah lelah mendaki, bukan? Istirahatlah. Di bawah. Pergilah dari keindahan tak abadi di atas sana. 

Luv,
Nadia Almira Sagitta

Monday, October 19, 2015

Gosip

Buonasera!

Malam tadi temanku datang ke kosan dan hendak meminjam buku. Eh, mulanya yang mau beberapa menit saja malah jadi sejam lebih. Kami asyik bergosip di ruang tamu. Hahaha, kocak, ih. Bercerita soal sahabat-sahabatnya, soal cerita cintaku, soal skripsi dan jurnal kawan-kawan, perkuliahan, serta banyak hal. Aku nggak pernah berpikir untuk bercerita panjang padanya, apalagi sampai curhat cinta. Ah, tetapi mungkin aku butuh bercerita dan kebetulan dia asyik sekali mendengarkan. Ternyata, pengobatan untukku adalah menumpahkan segala rasa ke teman-temanku sampai akhirnya aku bosan dan lelah untuk menangis. Kalau bisa, sampai aku bosan bercerita. Seperti tadi.

M: Mau ke mana, Nad?
N: Ke...klaster. Makan. (bohong! Aku mau nangis sepuasnya di sana)
M: Sama siapa?
N: Ng, sendirian. Tapi kalau kalian mau ikut juga boleh.
M: Kami ikut, ya.
N: O...ke. (ah, gagal melampiaskan rasa, nih)

Di klaster.
M: Kamu kenapa?
A: Iya, Nanad kenapa?
N: Aku... (kemudian mengalirlah cerita yang super panjang)
A: Udah, ya. Menurut aku...
M: Iya, aku sepakat. Menurut aku juga gitu. Nggak usah nangis lagi, ya.
N: Iya.

Di masjid.
N: Tahu nggak, siang tadi aku sebenarnya mau nangis di sana.
M: Oya? Jangan, Nad. Jangan fasilitasi diri kamu untuk nangis. Selalu ada kita, kok. Kalau butuh cerita, ya cerita. Jangan sendirian.
N: Makasih, ya. Entahlah, tadi aku merasa butuh menangis saja. Aku nggak fokus kuliah seharian ini. Tadinya malah nggak mau masuk.
M: Semoga hanya semingguan ini, ya, Nad. Aamiin.
N: Aamiin.

Cheers,
Nadia Almira Sagitta

Sunday, October 18, 2015

Tak lelap

Aku tertidur. Baru dua jam. Itu juga tak lelap. Aku tak merasa bahagia dalam tidurku. Aku mendengar suara cicak berlarian di antara kertas-kertasku. Aku silau oleh cahaya lampu kamarku. Tubuhku rasanya lelah sekali, seperti habis berlari jauh. Kurasakan pula mataku masih sembap saat bangun. Bibir masih terkatup sama sebelum aku memejamkan mata. Ah, padahal kan aku maunya senyum biar cantik seperti putri tidur! Malam ini aku tidak cantik. Tidak menarik.

Aku tertidur. Baru dua jam. Itu juga tak lelap. Aku kaget saja, sesulit ini aku tidur, tetapi waktu tak mau peduli. Ia berjalan lambat sekali. Sengaja ia. Meninggalkan aku dengan suara-suara hatiku sendiri. Memaksa aku untuk menenangkan diriku sendiri.

Aku ingin cepat menyongsong pagi.

Malam,
Nadia Almira Sagitta

Aku Ingin

Aku ingin bercerita pada rerumputan bukit
Yang baru saja basah terkena tangisan langit
Ia tentu setia menampung air mataku yang jatuh merintik
Aku ingin melarungkan perasaanku pada air terjun
Yang riaknya deras dan sedikit menakutkan
Ia tentu bersedia mengantar perasaanku hingga mencapai tepian
Aku ingin membagi cintaku pada bunga dandelion
Yang kelopaknya hilang terbang terembus angin
Agar cintaku juga lekas sirna pupus seiring waktu
 
Biarkan aku mengempaskan diri di bukit kenangan
Bersama mentari yang menjadi payung kegelisahanku
Gemerisik ilalang yang meninabobokanku merdu
Dan juga angin yang menyelimutiku malu-malu
--

Tapi mereka hanya ada di alam imajiku
Nyatanya, aku...
Menggantungkan harap di plafon kamarku
Menggoreskan luka di retaknya dindingku
Merasakan hampa di redupnya lampuku
Dan mendekap tiada pada ekspresi wajahku

Saturday, October 17, 2015

Genap

Genap membuat hari ini menjadi hari terbaper se-Indonesia! Eh, setidaknya bagiku. Ada wajahmu di setiap bab yang kubaca. Jangan tanyakan aku kenapa, kamu hadir begitu saja...di alam khayalku.

Genap mengajariku untuk mengikhlaskan, yang pada akhirnya kujadikan trik untuk merelakan kamu. Namun, pada kenyataannya, kamu selalu saja ada di pikiranku. Ah, sepertinya aku tak bisa memaksa diri untuk melupakan kamu. Nanti juga lupa kalau sudah terbiasa.

Kemarin, aku ingin melupakan kamu dengan alasan ketidakcocokan. Ternyata, pendapatku dibantai habis oleh buku ini. Sia-sia mencari pasangan yang benar-benar cocok karena dia tak akan pernah ada. Kecocokan itu diusahakan, lagipula kecocokan sebelum menikah akan berbeda setelahnya. Manusia ada lebih kurangnya, kita haruslah melapangkan hati untuk ruang penerimaan. Ih, Genap, gemas sekali rasanya! Apabila kamu ditakdirkan Allah untuk menggenapiku, aku akan belajar melapangkan hati seperti kata Genap ini. Jika bukan kamu, tips ini tetap kuaplikasikan pada dia, siapa pun orangnya. Fleksibel saja. Iya, hati harus fleksibel.
--

Pernikahan membutuhkan pengorbanan dari kedua belah pihak. Pengorbanan sukarela yang mengalirkan bahagia pada keduanya. Seperti kata tokoh aku dalam Genap, "Kita cinta sama seseorang saat kita begitu bahagianya melakukan sesuatu--apa pun itu--untuknya. Saat kepadanya, kita selalu ingin memberikan yang terbaik yang kita bisa. Saat terhadapnya, kita tak perlu menyembunyikan apa pun tentang kita. Saat di sisinya, kita merasakan hidup kita jauh lebih berharga. Saat bersamanya, beban hidup terasa lebih ringan."

Semoga suatu saat hatiku bisa menerima dia yang ditakdirkan Allah untukku. Siapa pun, bahkan jika ia bukan kamu. Hahaha, kenapa memaksa ingin bersama dengan orang yang belum tentu jodoh? Kata Genap, "Kalau ia meninggalkan kamu dan memilih orang lain, berarti ia memang bukan jodoh kamu. Jangan sedih." Semoga suatu saat aku menemukan seseorang yang membuat hidup ini menjadi lebih indah, lebih ringan, dan lebih bermakna.

Mari melapangkan hati! :)

Luv,
Nadia Almira Sagitta

Friday, October 16, 2015

Bagian dari orang lain

"Setiap kita adalah bagian dari masa lalu orang lain."

(Nadia Almira Sagitta)

Kita pernah begitu berarti untuk seseorang. Bisa jadi, kita adalah pusat semesta yang ada di hati kecilnya. Kita matahari, sementara dia bumi yang selalu setia mengelilingi. Ah ya, mengelilingi dan melindungi. 

Maka ketika kita merasa putus asa, hiburlah diri dengan mengingat fakta ini. Setiap kita bersedih, bisa jadi dia ikut bersedih. Sedih karena tak dapat menarik lengkung bibir kita membentuk senyuman. Setiap kita bahagia, dia juga ikut berbahagia walaupun ia tak tahu alasan apa yang membuat kita tersenyum ceria. Dan sebenarnya, ia selalu ada diam-diam dalam doa. Memohon pada-Nya agar diperkenankan menemani hari-hari kita dalam suka dan duka. Menjadi pelipur lara dan kawan berbagi tawa. Menjadi alasan dari bahagia kita, menjadi alasan dari bunga-bunga yang mekar dalam dada.

Syukur apalagi yang kurang hari ini?
Tidakkah kamu cukup merasa dicinta?
Kamu, jangan lupa tersenyum pagi ini.

Salam,
Nadia Almira Sagitta

"Kenapa kamu cemburu? Baru juga sekali ketemu. Makanya jangan mudah luluh-lantak oleh perasaan!"

-Nadia Almira Sagitta

Bahagia yang Dipaksa

Ini bukan menyoal dulu-duluan bangkit dari kesedihan. Ini hanyalah ekspresi: ekspresi bahagia yang dipaksa. Jikalau menyerah pada nestapa, apatah bedanya kita dengan narapidana yang terpenjara.
 
Jangan semudah itu tunduk pada duka!
Kita masih bisa menari di atas luka
Hingga pada akhirnya
Hilanglah segala lara
Dan terbitlah senyum ceria
Kali ini, tanpa dipaksa

Cheers,
Nadia Almira Sagitta

Thursday, October 15, 2015

Apalah Kenangan

Aku tidak pernah berharap akan mengulang kenangan dengan orang yang berbeda. Aku juga tidak pernah mengira akan diberi respons yang persis sama. Bagaimana mungkin aku diberi keleluasaan untuk menentukan, sementara aku sendiri meragu?

Aku tak tahu apakah keputusan ini salah atau benar. Apakah keputusan ini egois atau tidak. Apakah keputusan ini tergesa atau justru terlambat. Apakah keputusan ini menyakiti hati sendiri atau turut membawa-bawa hati orang lain.

Kamu, masa laluku...
Ketahuilah, aku dulu sama sekali tak berniat untuk menyakitimu. Aku hanya inginkan yang terbaik untuk kita berdua. Kalau memang sama-sama suka, kita harus merintis perjalanan dengan cara yang baik, bukan seperti cara kita dulu. Jikapun pada akhirnya engkau terluka--dan memang kenyataannya begitu--aku sungguh meminta maaf. Percayalah, bukan hanya kamu yang terluka, melainkan aku juga. Maafkan aku yang hanya berani meminta maaf di sini, di tempat yang belum tentu kamu kunjungi.

Kamu, yang entah terbilang masa lalu atau masa kiniku...
Aku tahu rasanya aneh dan tak biasa. Aku pun mengalami hal yang sama. Akan tetapi, jam belum berhenti berdetik dan jantung pun belum berhenti berdetak: waktu terus berputar. Ia akan membuat aku dan kamu saling melupakan. Ia akan mengusir keanehan itu perlahan-lahan, bahkan sebelum kita sempat terjaga. Jadi, anggap saja semuanya biasa seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Maaf jika aku terkesan berteori kosong. Aku sadar prosesnya tidaklah segampang yang kubeberkan di sini. Namun, hati selalu punya cara untuk menyembuhkan lukanya sendiri. Percayalah, semua akan baik-baik saja. Kita akan saling melupa sebelum mata membuka-tutup kelopaknya.

Aku tidak pernah berharap akan mengulang kenangan
Bersama kamu
Karena sesungguhnya aku tak ingin menggantungkan diri pada perihnya kenangan, tetapi pada indahnya masa depan
Bersama kamu
Yang entah, aku juga tidak tahu dan masih ragu

Luv,
Nadia Almira Sagitta

Mungkin memang betul rasa sakit menimbulkan trauma dalam diri.

Wednesday, October 14, 2015

Tahun baru penuh bahagia

Alhamdulillah, ya Allah.

Terima kasih untuk hari kemarin. Terima kasih untuk tahun barunya.

Kemarin aku berangkat ke MUI untuk mengikuti Kajian Hijab Biru UI yang membahas tadabbur surat Alfatihah. Kajian terakhir yang kuikuti itu tanggal berapa, ya? Sudah lama sekali. Ada rasa yang berbeda ketika aku duduk bersama para akhwat dan menyimak serta mencatat materi dari ustaz yang duduk di belakang hijab.

Sekarang, Masjid UI menjadi tempat yang cukup asing bagiku. Setahun lalu aku masih sering ke MUI karena sekretariat organisasiku berada di lantai dua masjid ini. Namun, setahun belakangan aku tidak lagi bergabung dengan organisasi apa pun. Aku putus kontak dengan MUI karena merasa sudah tidak ada ikatan apa-apa. Aku tidak wajib mengurus kajian, tidak wajib lagi menghadiri rapat, dan lain-lain. Padahal, aku sering mengunjungi tetangga masjid ini, yaitu perpustakaan, tetapi untuk sekadar beribadah di MUI aku jarang sekali. Berkunjung ke rumah Allah membuat hatiku lega. Lega karena pada akhirnya bisa melepas rindu.

Di kajian, aku dipertemukan dengan kak Arista, kakak yang menjadi kawan baikku di kajian tersebut dahulu. Jarang sekali kami bisa bertemu karena ia sibuk bekerja. Jadi, kemarin adalah kesempatan yang begitu langka. Ah, menyambung tali ukhuwah itu menyenangkan sekali. Alhamdulillah. Uhibbukifillah, kak Arista.

Kajian selesai pukul 17.30. Seharusnya aku bisa langsung pulang, tetapi aku urung. Aku memutuskan untuk ikut salat Magrib berjamaah di sana. Sudah berapa lama tidak salat berjamaah ramai-ramai, Nad? Kapan terakhir kali kamu mengambil wudu sebelum azan berkumandang? Sungguh, sudah berapa lama?

Damai sekali rasanya. Terima kasih, ya Allah. Terima kasih masih memberikan kedamaian di hatiku yang sedang gundah. Terima kasih.

Selepas salat, aku disapa seorang kawan lamaku di Whatsapp, "Halo, Nad. Apa kabar?" Aku segera membalas dengan menggunakan huruf kapital saking gembiranya. Eh, chat-nya pending.

Ketika mau pulang, aku malah bertemu dengannya yang sedang duduk di salah satu sudut masjid. MasyaAllah. Kebetulan sekali. Kami lantas bertukar kabar dan menceritakan kesibukan masing-masing. Aku baru tahu dia mengikuti dua organisasi. Wih, sibuk sekali dia, padahal di saat yang sama ia sedang menggarap bab dua skripsinya. Aku juga bercerita mengenai hari-hariku yang cukup...monoton. Hahaha. Dulunya, kawanku ini partner  galauku, tetapi dia sekarang nggak pernah lagi membagi kisah denganku. Mungkin tidak ada cerita cinta yang dapat dibagi. Akhirnya, aku yang mencerocos menceritakan kisah cintaku yang absurd. Berangkat dari cerita galau, aku bertanya soal cita-citanya. Tak dinyana, ia bercerita panjang. Ia mengaku sedang jenuh pada jurusannya, pada  skripsinya, dan terlihat patah semangat. Padahal, ia tengah menjalani mimpi kelas lima SD-nya. Berkuliah di jurusannya saat ini memang cita-citanya sejak dahulu. Sayang, kali ini ia hilang fokus, tidak seobsesif dulu, dan sibuk melarikan diri pada subjek-subjek lain. Aku lalu berkata seperti ini, "Mimpi itu boleh saja berubah, tetapi pastikan ketika kamu meninggalkan mimpimu yang semula, kamu sudah menemukan mimpi baru untuk digapai. Apa kamu sudah menemukan yang baru?" Ia lantas menangis dan benar-benar menumpahkan semua kegundahan hati yang tampaknya sudah dipendam sedemikian lama.

Allah, terima kasih sudah membawaku padanya. Terima kasih telah mengutusku untuk menjadi teman curhatnya malam ini. Terima kasih pula telah menyadarkanku bahwa masalah yang kini kuhadapi tidaklah lebih berat daripada orang lain.

Teruntuk kawanku, tetaplah semangat! Kapan pun kamu butuh kawan cerita, ingatlah aku selalu ada. Mari saling menyemangati satu sama lain! Indonesia butuh kita: kita yang bermimpi besar, unik, dan optimis. Jangan menyerah sekarang!

Luv,
Nadia Almira Sagitta

Kesel

Astagfirullah, kesal banget. Ada, ya, orang yang nggak mikir dulu sebelum ngomong. Sok pakai bahasa Inggris, menghina orang seenaknya, nyinyir nggak kira-kira, padahal mah lawan tuturnya bicara sopan. Udah, bekep aja mulutnya! Kasar banget. Balik sekolah lagi sana!

Tuesday, October 13, 2015

Titik Balik

Allah, aku rindu. Maafkan aku yang setahun belakangan benar-benar jauh dari Engkau. Maafkan aku yang menjauh dari diriku yang semula; diri yang sudah hijrah dan sedang giat-giatnya mencerap ilmu. Aku tahu ada beberapa teman yang menatapku miris dan mungkin kehilangan aku yang dulu. Yap, sedrastis itu perubahannya, Engkau lebih tahu.

Aku ingin balik lagi seperti dulu, semoga Engkau tidak mengenal kata terlambat.

Bismillah.

New year, new me.
New year, new you.

Salam,
Nadia Almira Sagitta

Air mata

Aku bukanlah gadis remaja yang mudah menangis. Dulu, aku mengubah semua kesedihan hati menjadi kekesalan. Uring-uringan. Enggan sekali menitikkan air mata. Bagiku, air mata hanya diperuntukkan bagi orang-orang cengeng sementara aku tidaklah cengeng. Begitulah pikirku dahulu. Oh ya, air mata juga hanya dikeluarkan ketika ada yang meninggal, itu saja. Tatkala aku melihat orang-orang menangis karena cinta, aku cuma bisa tertawa dalam hati. Mengapa berlebihan sekali? Ketika aku patah hati saat SMP, aku hanya linglung beberapa waktu dan bertransformasi menjadi perempuan yang lebih kuat. Benar, kan, aku tidak cengeng?

Selang beberapa waktu berlalu, pradugaku ternyata salah tentang kecengengan diri. Dulu mudah saja berkata seperti itu ketika belum jatuh cinta benar-benar. Dulu masih cinta iseng ala-ala remaja tanggung. Memasuki dunia SMA, memasuki dunia baru penuh cinta yang mekar. Aku jatuh cinta tiga kali. Aku menangis empat kali. Bahkan, cinta terakhir kala SMA masih menyisakan derita hingga hari ini. Air mataku berebutan mengaliri pipi seperti tsunami. Tidak berhenti-berhenti. Ditinggal dan meninggalkan ternyata rasanya sakit sekali. Ditinggal dan meninggalkan ternyata membuat hari dan hatimu kopong. Bagaikan mayat hidup aku menjalani hari-hari, sampai-sampai kawanku bertanya apa yang terjadi. Akulah raga yang baru saja kehilangan jiwa dan hati, kataku. Ah, aku baru menyadari aku cengeng. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan diriku yang dahulu. Sebabnya cinta, itulah dia.

Kala memasuki usia dewasa muda di akhir perkuliahan ini, aku tak pernah berharap akan merasakan sakit hati yang serupa lagi. Namun, takdir hidup tetap berjalan sesuai kehendaknya. Jikalau memang harus patah, pastilah patah. Maka aku tergugu lagi, sulit bicara. Aku duduk terpaku lagi, sulit mencerna kata-kata. Bukan sekali dua kali aku menangis. Banyak sekali, jauh lebih banyak daripada kala SMA dahulu padahal subjeknya kini hanya satu. Oh, tak aku lupa, yang dulu-dulu juga ikut menyumbangkan kegetiran hati. Aku terus menangis sampai stok air mataku habis. Pernahkah engkau mengalami kesedihan luar biasa sampai-sampai tak sanggup untuk menggerakkan kelenjar lakrimal yang bertanggung jawab atas air mata? Inilah aku, pagi ini. Pada puncak kesedihan, aku hanya bisa tersenyum getir karena sudah terlalu payah untuk menitikkan air mata. Barangkali diri ini sudah kebal merasakan sakit sehingga air mata tak lagi mendesak keluar.

Aku lelah, Ya Rabb.
Aku tak ingin menangis lagi.

Aku memohon pada-Mu, berilah aku ketegaran seperti masa remaja mudaku dahulu.

Salam,
Nadia Almira Sagitta

Menggapai Bahagia

Hidup tidak selamanya baik-baik saja. Hidup tidak selamanya diisi bahagia. Tidak selalu bahagia bukan berarti menenggelamkan diri dalam duka lara. Kita sebagai manusia haruslah mengupayakan kebahagiaan meskipun perjalanan mencapainya menuai luka luar biasa.

Kita berhak bahagia
Aku dan kamu juga
Mungkin dengan cara ini
Kita bisa menggapai suka cita
Masing-masing

Luv,
Nadia Almira Sagitta

Monday, October 12, 2015

Menyibukkan Diri

D: Aku kalau butuh respons cepat pasti selalu ke kamu. Kamu tuh ya, baru di-chat semenit, balasannya segera!
N: Hahaha, iyalah. Ponsel selalu berada dalam genggamanku.
D: Main ponsel mulu, ya, di kosan? Huuu, nggak ada kerjaan.
N: Kayak situ ada kerjaan aja.
D: Wkwk, iya nggak ada juga. Makanya aku kerja, N. Karatan aku di rumah melulu.
N: Baguslah. Aku juga bingung mesti gimana mengisi hari-hari. (mulai lebay)
D: Pantas kamu galau terus. Nggak ada kerjaan, sih. Jadi, sedikit-sedikit, pikiranmu terpusat padanya.
N: Ya. Benar juga.
D: Sadarilah, kita berdua itu perempuan kesepian.
N: Heh? Enak aja!
D: Tapi benar, kan? Haha. Sudah tahu sepi, kalau diisi dengan sepi lagi, mau jadi apa hidup ini? Carilah kegiatan, N. Sibukkan dirimu.
N: Kegiatan apa, ya? Aku sempat menenggelamkan diriku pada ini, ini, dan ini, tetapi cuma bertahan beberapa waktu.
D: Pokoknya, aku nggak mau dengar kamu berlari padanya lagi.
N: Yah, susah. Kan kita...
D: ...Perempuan kesepian?
N: Iya.
D: Dasar!

Kapan melupakan (dia)?

E: Jadi, kapan kamu mau lupa?
A: Harus banget, ya?
E: Ya kapan kamu bisa move on.
A: Ng, selepas aku wisuda.
E: Oh my, itu lama nian! Heh, kamu mau gegalauan selama itu? Masih setahun lagi, A.
A: Justru itu. Aku ingin melepaskan dia dari benak ketika aku terlepas dengan hal-hal yang mengingatkan diriku padanya. Aku sudah merencanakan semuanya, kok, berikut salam perpisahanku.
E: Kalau kamu sudah nggak menyukainya setahun ke depan, rencanamu itu mau kamu apakan?
A: Serpihan kenangannya tinggal kuhapus dari folder.
E: Aduh, kalau begitu hapus dari sekarang saja!
A: Tidak bisa. Kan aku masih cinta.
E: Dasar. Kamu mau skripsian nanti masih diganggu oleh rasa yang tak kunjung usai?
A: Nggak mau.
E: Makanya lupakan.
A: Susah.
E: Ah!

Karena Aku Cinta

Y: Kamu itu, sudahilah. Apa susahnya, sih?
D: Susah, Cantik. Hih, kalau prosesnya mudah, telah kusudahi dari dulu-dulu.
Y: Dengar, ya. Kamu pantas mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik. Seseorang yang nggak berani bikin kamu galau kayak begini. Udahlah, kamu sama teman sejurusan aja.
D: Hahahaha, siapa?
Y: Itu.
D: Ah, nggak ah! Kuliahnya nggak serius.
Y: Tapi, kan, idaman banget ketaatannya.
D: Hm, dengarkan aku, ya. Kata ibuku, "Perempuan wajib mencari lelaki yang lebih baik darinya." Kalau dalam hal akademis, nilainya sudah minus di mataku.
Y: Yah, kalau gitu, lelaki di jurusan dan angkatan nggak ada yang pantas buat kamu, dong! Nilai tertinggi saja kamu yang pegang.
D: Hahaha. Aku nggak membidik pasangan dari jurusan kita, kok. At least, mungkin kupilih dari ranah Linguistik saja saat studi master atau doktoral. Atau peneliti LIPI.
Y: Aamiin. Nah, itu kamu punya prioritas, kan? Lantas kenapa galau sekarang?
D: Karena aku cinta. Oh my God, karena aku cinta.
Y: Kamu sungguh telah dibutakan cinta, D.

Saturday, October 10, 2015

Cinta yang Mudah

Katanya Cinta, jika jalan menuju kebaikan dipermudah, itu datangnya dari Allah. Aku tak tahu apa jalan yang kutempuh ini menuju kebaikan atau kehancuran. Jika menuju kebaikan, aku juga tidak tahu ini datangnya dari Allah atau bukan karena rasanya rumit sekali. Pastinya, sih, dari Allah, mudah atau sulitnya perjalanan bukankah hanya cobaan?
 
Sepanjang perjalanan, mungkin engkau akan banyak menemukan basa-basi sambil lalu diselingi lelucon yang tidak lucu. Hidup memang bisa sekonyol itu, Cinta. Kau tak ingin bermain, tetapi kau tetap diajaknya tertawa di atas luka.

Jatuh bangunnya kita dalam perjalanan cinta biarlah menjadi cerita. Cerita bahwa kau pernah diberi harapan, digantungkan, ditinggalkan, dicintai, ditaksir, dan juga sebaliknya. Dan lagi-lagi, di sinilah aku berdiri dengan segenggam harapan yang tak kunjung padam. Dengan segepok keberanian untuk mencintai sekali lagi dan kembali berharap sampai kapasitas kecewaku tak cukup lagi.

"If a man wants you, nothing can keep him away. If he doesn't want you, nothing can make him stay." (Oprah Winfrey)

Luv,
Nadia Almira Sagitta

Friday, October 9, 2015

Film Bahasa LIPI

"Jangan terlalu dengan bahasa sendiri atau bahasa Pagu, nanti kamu tidak tahu bahasa Indonesia."

"Nanti kamu tidak tahu membaca dan menulis, berhitung, maka itu mereka tidak berbahasa daerah di sekolah."

"Su kalau tidak belajar berarti akan, eh, hilang bahasa itu dengan sendirinya."

"Menurut pengamatan beta bahwa bahasa ini kalau tidak dibangunkan berarti sepuluh tahun mendatang hanya sisa sepenggal, dua puluh tahun mendatang teng ngada."

Menyedihkan, ya? Ternyata, pendokumentasian bahasa itu penting sekali. Namun, janganlah hanya mendokumentasikan, kita perlu berputar otak agar bahasa itu tetap hidup di masyarakat.

P2KK LIPI mengadakan pemutaran film bahasa, khususnya tentang bahasa Maluku, di LIPI Gatot Subroto. Tonton trailer-nya di sini!

https://www.facebook.com/lita.masnun/videos/10153346428463580/

Pemutaran film diadakan hari ini dan besok pukul 10.00--16.00 di gedung Widya Graha Lt. 6 LIPI. Kalau tidak salah, pemutaran film bahasa itu diputar hari Minggu pukul 10.00--14.00, tetapi tidak ada salahnya mulai berkunjung hari ini. ^^

Yuk, ke Indonesian Science Expo LIPI! ^^{}

KEPUNAHAN BAHASA JUGA BERARTI KEPUNAHAN BUDAYA!

Thursday, October 8, 2015

"Sarà lungo il cammino, vedrai
Avrai gioia e dolore
Ma non avere mai timore."

(Simba, The Lion King II)

Wednesday, October 7, 2015

Masih ada harapan: pemuda impian

Salah seorang Tumblrian yang kufavoritkan beberapa waktu ini membalas komentarku pada tulisannya. Melalui tulisan-tulisannya, aku tahu ia merupakan sosok yang peduli pendidikan, baik untuk dirinya dan orang lain. Ia juga pro terhadap wanita yang bekerja. Aku suka caranya memaknai hidup. Ia tidak termakan frame sosial tentang pernikahan. Ia memiliki pemikiran sendiri soal kebahagiaan.

Kini, ia sedang menyelesaikan program doktoralnya di luar negeri dengan kondisi belum menikah. Hahaha, ini tidak berarti aku ingin menikah dengannya. Aku hanya bersyukur bisa berkenalan dengannya secara tidak langsung. Melalui tulisan-tulisannya, aku tidak lagi merasa sepi dan sendirian. Masih ada lelaki di belahan bumi sana yang mengerti profesi perempuan. Masih ada lelaki di luar sana yang mendukung penuh pendidikan setinggi-tingginya bagi perempuan. Masih ada lelaki di seberang sana yang mengizinkan perempuan untuk mengembangkan kemampuan dirinya setelah menikah. Masih ada lelaki di dunia ini yang berani melamar perempuan tanpa memedulikan strata pendidikannya. Aku ingin bertemu dengan lelaki yang seperti itu. Dengan demikian, aku tidak perlu khawatir dengan mimpi besarku. Aku tidak perlu was-was menjalani hidup dengan mimpi yang bercabang ke mana-mana. Apabila sudah kutemukan ia yang sejalan denganku, tentu mimpi bercabang-cabang milikku akan menyatu dengan mimpi bercabang-cabang miliknya dan menjelma mimpi bercabang banyak milik kami berdua.

Pemuda impian itu ada, entah di mana. Barangkali ia sedang sibuk menyusun mimpi sepertiku. Nantilah kami berjumpa, insyaaAllah. 

Siapa tahu kami berjumpa di tengah perjalanan meraih mimpi masing-masing! ♡

Cheers,
Nadia Almira Sagitta

Tuesday, October 6, 2015

Kata Sapaan

"Saya memilih kata sapaan sebagai salah satu kategori tanyaan penelitian saya karena sifatnya yang mudah berubah-ubah. Sebagai contoh, keluarga saya menggunakan sapaan rama dan mama. Keluarga suami saya menggunakan sapaan papa dan mama. Ketika kami menikah, kami bersepakat akan menggunakan sapaan mama dan rama. Ketika mertua saya berkunjung ke rumah, beliau berujar pada anak saya, 'Ini kasih ke papa, Nak.' Mendengar hal tersebut, suami saya langsung menanggapi, 'Ayo sini sama rama, Nak. Ayo ke rama.' Suami saya melakukan hal itu untuk menghindari bingung bahasa pada anak. Nah, perbedaan kata sapaan ini lazim terjadi pada pernikahan antarsuku. Ini hanya masalah kesepakatan, kok, jadi jangan sampai berantem sama suami atau istri kalian perihal ini. Eh ini no offense, ya, tetapi saya suka bingung dengan keluarga yang menggunakan sapaan abi ummi. Apa dikiranya pakai sapaan seperti itu langsung masuk surga? Hahahah. Jangan tersinggung, ya. Indonesia itu punya banyak bahasa daerah yang kaya akan jenis-jenis kata sapaan. Kenapa harus meminjam kata dari negara yang jauh? Ayo pikirkan kalian mau dipanggil apa sama anak kalian nanti! Mama, mamak, emak, enyak, ibu, bunda, mami, ummi? Bapak, papa, papi, ayah, babe, abah, atau apa?"

-Celoteh seorang dosen. Hahaha, doi ceplas-ceplos dah kalau ngomong! Ah, gitu-gitu tetap kagum saya. Tetap sehat, lucu, dan kritis ya, Bu. ^^

Saturday, October 3, 2015

SKS dan Belajar Mandiri

Bom dia!(*)

Kembali lagi dengan Nadia di sini, yeah semoga tidak bosan, ya. Kali ini, aku mau membahas SKS (Satuan Kredit Semester). Hm, aku tidak akan membahas SKS secara mendalam, tetapi hanya mengingatkan kembali pengertian dari SKS.
 
Ketika kita mengambil suatu mata kuliah, akan ada keterangan mengenai SKS matkul tersebut. Bisa 1 SKS, 3 SKS, atau bahkan 6 SKS. SKS ini berhubungan erat dengan lama perkuliahan dalam seminggu dan bobot nilai dalam IP/IPK-mu nantinya. Sudah jelas kalau kamu mesti memberikan upaya terbaikmu pada matkul dengan SKS berjumlah besar. Kalau nilai matkul itu jeblok maka tamatlah riwayatmu. :p

1 SKS biasanya berkisar 50 menit dalam seminggu. 50 menit belajar di kelas, 50 menit mengerjakan tugas, 50 menit belajar mandiri di rumah.

Sip, masuk ke contoh kasus saja, ya. Aku mengambil contoh dari matkul Pengantar Linguistik Umum.

PLU - 3 SKS
3 x 50 menit (2,5 jam) belajar di kelas
3 x 50 menit (2,5 jam) mengerjakan tugas
3 x 50 menit (2,5 jam) belajar mandiri dengan membaca buku referensi, mengulang materi, dan lain-lain.
 
Secara keseluruhan, dalam seminggu, aku harus belajar 5 jam di luar kelas untuk satu mata kuliah! Kalau aku mengambil 8 mata kuliah (bobot 3 SKS) dalam seminggu, itu setara dengan belajar 40 jam secara mandiri. Kalau dibagi tujuh, itu berarti aku harus belajar mandiri 5 jam sehari. Apa iya aku dan kamu sudah belajar segigih itu? Mari merefleksi diri!

Tapi, kak, apa asyiknya belajar terus menerus? Kuliah jangan akademik doang, kak. Kita mesti bersosialisasi dan berorganisasi juga.
 
Jawabanku?
Oh, tentu saja boleh! Misal, kamu berkuliah hingga pukul 15.30, setelahnya kamu berorganisasi di kampus hingga pukul 18.00. Ya manfaatkanlah waktu istirahatmu dengan bersosialisasi secukupnya. Manfaatkan waktumu ketika menunggu bus, kereta, angkot dengan membaca-baca catatanmu. Daripada kamu bengong di kereta yang cukup lengang, mending kamu baca lagi bukumu. Sesampaimu di rumah, bebersih dirilah, makan malam, belajar sekitar sejam dua jam, lalu tidurlah. Sebelum subuh kamu baca materi lagi. Ribet? Memang begitu. Kuliah nggak gampang, Bung! Persaingannya ketat. Only those who survives will win. Kamu boleh menganggap remeh kuliahmu di jenjang strata satu, tetapi jangan coba-coba di jenjang strata dua. Berencana sekolah S-2? Singkirkan kebiasaan menunda pekerjan hingga titik terakhir kalau nggak mau meringis menangis. Seniorku yang S-2 saja mengeluhkan betapa banyak buku referensi yang harus ia baca untuk satu mata kuliah. 
 
Itu dia, guys. Aku cuma ingin mengingatkan kalian betapa kuliah itu menuntut kesadaran pribadi untuk belajar mandiri. Belajar itu nggak bisa cuma di kampus doang. Kamu mau tips belajar efektif? Sila cek video Simon berikut ini. Dia alumni Oxford jurusan Fisika. OXFORD, lho! The struggle is real, man. Hahahaha tipsnya dapat dipercaya, kok. 
 
Segini dulu untuk hari ini. Semangat untuk kalian yang akan memasuki dunia kuliah, semangat untuk kalian yang tengah berjuang menyelami perkuliahan, dan semangat untuk kita semua yang menjadi pejuang skripsi!

Cheers,
Nadia Almira Sagitta

(*) Bahasa Portugis untuk selamat pagi

Kalau ada masalah denganku, itu pasti cinta. Pasti cinta.

Friday, October 2, 2015

Smoothie Story: Combine with Oats

Kemarin aku mencoba salah satu resep smoothie dari kanal Youtube Mind Over Munch. Lagi-lagi green smoothie karena aku sedang menghabiskan stok bayam di kulkas. Resepnya sebagai berikut.

1/2 avokad
1/2 kemasan air kelapa
segenggam bayam
dan oatmeal

Yikes! Oatmeal? Are you suuuure?  Yep. Reaksi awalku juga sama sepertimu. Kata si MOM, oatmeal ini menjadikan green smoothie-mu kali ini lebih berisi dan mengenyangkan. Super food smoothie. Oh oke, kuikuti saja. Masukkan semua bahan ke blender lalu tekan blend. Jengjengjeng, hasilnya Saudara... 

A BIG NO FOR ME. Oatmeal menjadikan tekstur smoothie-ku sepat, rasa bayam sangat mendominasi, air kelapa tak terasa sama sekali, dan avokadku kali ini menyumbangkan rasa pahit. Saat pencicipan pertama, aku sangat ingin membuang smoothie-nya. Akan tetapi, apa boleh dikata, selesaikan apa yang kau lakukan. Jadilah aku berusaha menghabiskan minumanku, menahan muntah, dan segera menenggak air tiap menyeruput smoothie. Oh Tuhan, kesalahan fatal banget ini! Hahahah kocak, namanya juga pemula.

Rasanya aku tahu kesalahanku di mana. Avokadku terlalu sedikit dan sepertinya belum masak (OMG, apa gara-gara promosi toko, ya!) serta oatmeal terlalu banyak. Itu saja kesalahannya. Barangkali resep ini enak, tetapi aku salah menerapkannya.

Hm, be better next time. Tak ada foto kali ini.

Cheers,
Nadia Almira Sagitta

Mengejar mimpi hingga ke SOAS

Salah nggak kalau sehari lalu aku sibuk mantengin situs SOAS, channel Youtube SOAS, dan forum-forum yang berkaitan dengan SOAS? :)
 
SOAS menjadi mimpiku sekarang, bukan lagi Oxbridge. Bukannya aku khawatir tidak diterima oleh Oxbridge, melainkan jurusan pilihanku hanya ditawarkan SOAS dan Univ. Manoa. Language Documentation and Description sangat sesuai dengan cita-citaku sebagai peneliti bahasa. Cita-cita yang muncul karena membaca berita di Antaranews mengenai bahasa-bahasa daerah  yang nyaris punah. Cita-cita yang berkembang setelah mengikuti kuliah online tentang endangered language di Australia. Cita-cita yang mengantarku ke gerbang sastra Indonesia. ♡

Tak banyak yang mengenal SOAS, coba saja kamu tanyakan pada kawan-kawanmu mengenainya. SOAS memang tak sebesar dan tak seprestise Oxbridge, tetapi ia termasuk jajaran kampus terbaik Inggris. Menjadi bagian dari University of London, SOAS adalah kampus yang sangat layak untuk dipertimbangkan. Kalau mau menyebut-nyebut ranking universitas, SOAS duduk di urutan keenam terbaik se-United Kingdom. Sesuai namanya, School of Oriental and African Studies, SOAS merupakan kampus terdepan di bidang Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Perpustakaan SOAS dilengkapi koleksi yang luar bisa memadai mengenai ketiga daerah tersebut. Gegara koleksinya yang unik, SOAS dinobatkan menjadi perpustakaan riset nasional Inggris untuk bidang Asia, Afrika, dan Timteng. Jurusan humaniora, bahasa, dan hukum merupakan kebanggaan SOAS. Kelas pengajaran bahasa asing SOAS juga termasuk tingkat keenam terbaik di Inggris. Wah, jangan kau kira hanya bahasa-bahasa Eropa yang tersedia, bahasa Asia, Afrika, dan sekitaran Timteng juga berlimpah tiada terkira. Bagaimana dengan lingkungan kampusnya? Sebagian besar mahasiswa-mahasiswi SOAS berasal dari berbagai belahan dunia. Sebut saja India, Cina, Mesir, Amerika, Afrika, Thailand, juga Indonesia! Ah, pokoknya seru banget untuk kamu-kamu yang mendambakan kampus yang multikultural.  ♡

Kemarin aku mengubek-ngubek info mengenai alur pendaftaran, info matakuliah, fasilitas kampus, info tempat tinggal,  pengurusan visa, welcome week (freshers) student's union, dan societies yang ada di SOAS. Aku sangat excited menghadapi hari-hariku di sana seolah-olah kartu emas SOAS sudah berada tanganku.
 
Semoga mimpiku tidaklah berhenti di angan. Semoga jalanku menggapai mimpi dimudahkan oleh-Nya. Tahun depan aku akan berfoto di samping patung hijau emas Thiruva'l'luvar dengan senyum terkembang. InsyaaAllah. ♡

SOAS, tunggu aku! :)

Cheers,
Nadia Almira Sagitta

Thursday, October 1, 2015

Naik gunung

N: Aku penasaran dengan naik gunung. Seru, ya?
I: Seru, Naaad. Alhamdulillah.
N: Berapa lama perjalanannya?
I: Kemarin, sih, aku empat jam naik sampai perkemahan. Lalu lanjut dua jam lagi agak ke atas.
N: Oh, ya? Lama banget, ya.
I: Padahal itu gunung untuk pemula banget.
N: Ng, oke. Aku nggak bisa membayangkan mesti berjalan selama itu.
I: Banyak istirahatnya, sih. Yang perempuan kelelahan membawa barang jadi sebentar-sebentar berhenti.
N: Bawa apa aja kalian?
I: Isi tasku kemarin pakaian, alat makan, air mineral 1,5 L empat botol, dan beras. Laki-laki membawa kompor dan lain-lainnya.
N: OMG! Berat sekali. Aku nggak tahu apa bisa memanggul barang sebanyak itu. Buku kuliah dan laptop saja sudah membuat tulang belakangku nyeri tak keruan. (skoliosis)
I: Emang harus olahraga sebulan sebelum naik, sih. Aku udah olahraga, tetapi tetap saja ngos-ngosan.
N: Hiking is not my thing. Hehe. Jalan-jalan ke Ketep Pass di Jogja naik mobil saja aku sudah senang. Alhamdulillah.
I: Alhamdulillah. Kalau nggak kuat naik, jangan dipaksa. Kasihan teman perjalanan kita nanti, bisa jadi mereka nggak menikmati.
N: Tentu. Mereka, kan, mau jalan-jalan bukan sibuk menolong sana-sini. Setiap orang punya kesempatan yang berbeda, tak usah dipaksakan, bukan?
I: Betul sekali.

Intinya, bagaimana kau selalu menerima dan mensyukuri keadaan.

Cheers,
Nadia Almira Sagitta