Diberi kutukan sama Mbak Rhein Fathia. Okay, here is my answer!
Nadia itu:
1. A bit Talkative
"What? A bit? Just a bit? She is more than a bit!!" hehe, itu komentar temenku soal kecerewetanku yang katanya nggak ketulungan. Semuaaaaa diceritain. Walaupun sebagian besar cerita tentang kehidupanku, sih. Hahaha, well, ada mulut kok nggak dipake gitu, lho. Maksimalin aja! Selama nggak bikin orang sedih, kan? Nggak suka gosip, kok. :P
2. Buku
Books, books, everywhere. Wah, di kamarku tuh udah jadi lautan buku! Gimana enggak, semua buku beterbaran di lantai. Habis baca, taruh deh. Haha, sumpah, buku itu... duniaku banget. Bisa lupa makan, lupa mandi, lupa segala ketika aku dipertemukan dengannya! --> weleh". Karena yah, sebenarnya aku itu kutu buku. Semua yang ada tulisannya pasti dibabat habis, deh!
3. Berantakan
"Ckckck... Ini kamar cewek apa kamar cowok, sih? Berantakan banget." komentarnya setelah melihat kamarku yang penuh barang di lantai, tempat tidur dan meja belajar. Astaga, berantakan banget #plak! "Kok, nggak diberesin?" lanjutnya.
"Hehe, malas. Ntar juga kotor lagi."
Well, jawaban yang sangat tidak tepat untuk diberikan kepada sang ibu. Lah, wong pribadiku udah kayak gini. Nanti aja deh yaa diubahnya, peace! ^^v
4. Cuek
Inilah aku! Cuek sama keadaan, terkadang. Sampai biasa dikomentarin, "Kamu tuh cuek banget dengan lingkunganmu ya, Nad." Hihi, aku kan autis sebenarnyaaa :P
5. GR
Hahaha, ampun dah, udah berapa kali ya, temen-temen ngatain aku itu GEER be ge te? Tau ah, ratusan kali, mungkin. ^^v well, haha aku bangga dengan diriku sendiri. Lagipula, Nadia emang manis, kan? --> Hmph, mulai lagi deh.
6. Cemal-Cemil
Nadia hobi banget makan kue, permen, es krim, atau apapun yang bsia di emut lah! Apalgi yang manis-manis. Sesuai orangnya juga sih, MANIS. Ups, hehe. Sayangnya, dengan hobi yang sulit dikontrol ini, Nadia tetep setia dengan tubuh kurusnya. Ga nambah-nambah! *Sigh
7. SKSD
"Hei, nama kamu siapa?"
"Sekolah di mana?"
"Eh, eh, tau enggak...?"
Kalimat pembuka pembicaraan yang standar, tapi cukup memancing untuk kenalan. Haha, aku seneeeng banget kenalan dengan orang baru. Nambah temen gitu deh, terus habis kenalan yaa... biasa minta nomor telepon, atau fb atau twitter, (dengan tanpa rasa malu) Dasar SKSD!
8. Aceria
Well, aceria apaan ya? Haha, ini laptopku! Namanya Aceria karena selalu membuatku senang, di sini aku serin numpahin curhat, ngebuang semua ide yang akhirnya menjadi suatu tulisan, tempat narsis, playing game, dengerin musik, semua lah. Duniaku bangeeet! Hha, autis ya?
9. Lelet
"Nad, di mana?"
"Hmm, masih.. di rumah.."
"Ya ampuun! Udah daritadi, masih di rumah?"
Hehe, Nadia tuh orangnya lelet bangeet, sinkron dah sama sifat pemalasnya!
10. Facebook
Paling sering update tentang di hidupnya di Facebook! Ckcck, fanatik banget. Padahal kan ada jejaring sosial yang lain. Tapi, menurutku facebook itu paling lengkap kap kap, dah! Ada notes-nya buat tempatku menerbitkan cerpen atau kata-kata nggak jelas terbaru, ada album photo-nya, buat nampilin kenarsisanku, statusnya boleh panjang-panjang, gitu gitu deh. Dah malas kalau harus indah ke lain hati.
11. Galau
Wuaw, RATU GALAU! Itu identitas baruku. Semua temen ngejulukin kayak gitu. Tega amet, yee? Tapi, emang bener kok. Hiks, udah galau untuk 5 orang, cuyy! Kalau lagi galau biasanya update status di facebook. Yang bertema galau tentunya. Kadang aku terdiam nggak jelas, menerawang, hiks, kadang nangis juga sih --> tapi jarang. Hmm, dasar cowok-cowok nggak bertanggung jawab! Kalian membuatku galau sekian lama, hiks #ngambiltisu #dramaqueen
1. Cita-cita kamu waktu kecil apa?
Pengen jadi pramugari. Nampak cantik aja dengan rok panjangnya walaupun dengan belahan rok yang tak kalah panjangnya, rambut yang disanggul, jalannya yang anggun. Cantik. Sempurna. Sebenarnya pengen jadi pembicara di pesawatnya itu, lho. Saya suka aksen bahasa inggrisnya.
2. Enak mana, jomblo atau punya pacar? Alasan?
Jomblo. Cause yaa, kalau pacar mah bisa putus. Sakit hati juga ujung-ujungnya. Mending jomblo aja terus sampe nikah, iya nggak? :)
3. Tempat di Indonesia yang paling pengen dikunjungi?
Kalimantan dan Papua, pengen ke kota yang lebih "alam" dibanding kota dengan bangunan pun pabrik yang tegak dengan megahnya.
4. Kalau udah nikah, pengen bulan madu ke mana?
Eropa, romantis gimana gitu :P
5. Pilih mana, Julia Perez atau Dewi Persik?
Julia Perez. Entah mungkin karena wajahnya terlihat lebih "menjual" dan elegan dibanding Dewi Persik.
6. Paling suka baca buku dengan genre apa?
Drama queen, romantis juga boleh :D
7. Sebutkan musuh Ksatria Baja Hitam RX di Dunia Crisis siapa saja!
I dun have any idea about this -,-
8. Kalau dikasih kesempatan punya adik kandung lagi, mau cewek atau cowok? Alasan?
Saya mau adik cowok. Berhubung saya sudah punya adik cewek yang sumpah, nakalnya nggak ketulungan. Nyari suasana baru aja, kan seru tuh kalau punya adik cowok ^^
9. Suka galau nggak? Kalau iya, biasanya galau karena apa?
Banget! Sampe temen-temen bilangnya saya itu ratu galau. Well, gara-gara mencintai seseorang dalam diam, juga mengetahui bahwa sesungguhnya tidak boleh terlalu dekat dengan orang yang bukan muhrim dalam ajaran agama. Well, sepenuhnya galau gara-gara cinta sih.
10. Kriteria cewek/cowok yang kamu mau jadi pasangan hidup selamanya kayak gimana?
Yang beriman, yang bisa membimbing saya ke jalan yang benar.
Yang perhatian, siapa sih yang nggak suka diperhatiin?
11. Pendapatmu gimana tentang novel online saya, CoupL(ov)e? Kurangnya apa, lebihnya apa?
Waaa~ bagus begete. Top abeees! Lihai banget deh, ngaduk-ngaduk perasaanku. Aku sampai nangis lho! Akhir yang tak terduga.
Hanya saja, yah, mungkin karena aku masih SMA belum terbiasa dengan cerita berlatarkan pernikahan. Hahaha, tapi secara keseluruhan keren lho, :D three thumbs up (emang ada?)
Tuesday, December 20, 2011
Tuesday, December 13, 2011
Bunda Untuk Nayla
Oleh: Nadia Almira Sagitta
“Bunda, Nayla mau nyanyi. Dengerin yah,” pintanya, menarik-narik bajuku.
“Enggak, aku lagi sibuk!”
“Sekali aja, bunda please…” ia memohon.
“Dibilangin lagi sibuk. Udah Nayla main ke sana aja!” sergahku.
“Yah, bunda. Padahal lagunya bagus.” Ia tertunduk kecewa kemudian kembali ke kamarnya.
Kalian pasti mengira aku kejam, bukan? Aku memang membenci bocah kecil itu sedari dulu, bahkan aku menolak mentah-mentah kehadirannya di hidupku. Iya, dia. Nayla. Darah dagingku sendiri.
* * *
“Nayla, pulang sama siapa?” berikut pertanyaan Ibu Risma, guru TK Nayla.
“Pulang sendiri, bu guru.”
“Nggak dijemput bunda, ya?”
“Enggak, bunda bilang, Nayla pulang sendiri saja. Bunda sibuk, katanya.” Jawab Nayla polos.
“Oh begitu.” Ibu Risma manggut-manggut sembari berpikir, sesibuk apa ibu Nayla hingga tak sempat menjemput anaknya sendiri.
Dan Nayla berjalan seorang diri, menempuh perjalanan sekitar 1 km untuk sampai di rumahnya.
* * *
“NAYLA! Kamu ‘kan yang menggambar di buku ini?” ujarku emosi, menggebrak pintu kamarnya.
“I..iya bunda. Nayla pikir, buku itu udah nggak kepake.”
“Sok tahu, kamu! Makanya, jangan iseng! Ini agenda penting, nggak perlu coretan tangan kamu!”
“Maaf, bunda.” Nayla tertunduk menahan tangis.
“Maaf, maaf. Sudah, nggak usah nangis. Cengeng banget.” gerutuku, meninggalkannya sendiri kamar. Dan Nayla meraih boneka kesayangannya, dan duduk di pojokan kamar. Bahunya bergoncang, ia menangis sesenggukan.
* * *
“Nggak! Kamu nggak boleh ninggalin aku!” jeritku padanya.
“Habis mau gimana lagi? Nikahin kamu, aku nggak bisa.”
“Kenapa nggak bisa? Harus bisa! Kamu yang udah ngebuat aku kayak gini!” air mata mulai membanjiri pipiku.
“Kamu kira nikah itu gampang? Lagian kita masih muda, dan aku masih mau senang-senang.”
PLAAAK! Tamparan kudaratkan di pipinya. Keras. Meninggalkan rona merah di wajahnya.
“Kamu kira aku nggak mau nikmatin masa mudaku? Kamu kira aku siap menjalani semuanya, hah? Kamu harus tanggung jawab!” paksaku, tak menyerah.
“Maaf, mungkin kamu nganggep aku pengecut, Tan. Tapi, aku nggak bisa...” ucapnya kemudian perlahan meninggalkanku.
“WHAT? Sependek itukah jalan keluarnya? Reihan! Mana janjimu kalau kamu bakal nikahin aku? Mana?”
* * *
“Ibu Intan, ada telepon untuk Anda.”
“Oh, tolong sambungkan segera.”
“Baik, bu.”
“Halo, dengan Ibu Intan? Bu, ini saya Maida, tetangga ibu. Nayla kecelakaan, Bu.”
“Hah? Di mana?”
“Sekarang Nayla ada di rumah sakit Harapan, Bu.”
“Oh, baiklah, nanti saya akan pergi ke sana. Terima kasih infonya.” Aku meletakkan gagang telepon. Ckckck, anak itu tidak berhenti-berhentinya mengusik hidupku.
Sesampainya aku di rumah sakit, aku menemukan Ibu Risma, guru Nayla duduk di sampingnya. Mukanya pucat, sangat khawatir.
“Anda… Ibu Intan? Mamanya Nayla?”
“Iya. Kenapa?”
“Kenapa Anda tega membiarkan Nayla pulang seorang diri?” tanyanya tegas.
“Lah, dia kan sudah besar. Bisa jalan sendiri.” tanggapku santai.
“Besar? Dia masih 5 tahun, Bu! Sungguh, ada dendam apa Anda sama Nayla?”
“Bukan urusan kamu.” Aku memalingkan muka daripadanya.
“Saya sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran Anda. Dia itu anak Anda.” Ujarnya menggeleng-gelengkan kepala. Lalu, keluar meninggalkanku berdua dengan dia. Anak katanya? Lalu, apa peduliku? Dia anak yang menyusahkan! Aku melengos.
* * *
Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Bersih kecil belum ternoda…
Hari ini, aku sendirian di rumah. Nayla masih tergolek lemas di rumah sakit. Tidak mungkin kan aku menungguinya selama 24 jam penuh? Hidupku kan bukan hanya dia saja. Aku mulai membereskan rak yang ditumpuki oleh buku-buku akuntansi dan album masa kecilku. Ada fotoku digendong Mama. Mungil dan menggemaskan. Ma, Intan rindu sama Mama… Kubalik lembaran selanjutnya. Di situ ada foto Mama sedang menyuapiku. Juga ada saat ia bermain-main denganku. Aku bisa menemukan wajah Mama yang begitu sabar dan penuh kasih dalam membesarkanku. Lantas, mengapa aku tak bisa menerapkan hal yang sama kepada Nayla? Ah, ini hidupku. Tentu saja berbeda. Lagipula, aku tak menginginkan Nayla muncul di hidupku. Dia hanya mengobrak-abrik kisah hidup dan kisah cintaku.
* * *
Ah, hari ini aku tidak lagi sendirian di rumah. Kebebasan itu hanya kunikmati sekejap mata. Nayla telah kembali sehat seperti sediakala. Ckck, bahkan sekarang ia kembali meracau.
“Bunda, bunda. Besok, di sekolah Nayla ada acara lho. Bunda datang ya? Nayla disuruh nyanyi sama ibu guru. Katanya suara Nayla bagus,” ajaknya padaku.
“Enggak ah, males. Ngapain coba? Mending di rumah nonton tv.”
“Yah, Bunda. Ayo dong, nonton Nayla. Semua teman-teman Nayla ngajak orangtuanya, lho. Jadi, Nayla mau ngajak Bunda juga. Bunda mau ya?”
“Itu kan mereka, bukan aku. Kalau aku nggak bisa, gimana?”
“Sekaliiii aja, bunda. Ya?” pintanya terus memohon.
Huh, anak kecil pengganggu. Padahal besok aku sedang mengambil cuti. Lelah dengan rutinitas sehari-hari. Masakan harus diganggu dengan acaranya tak penting itu? Sekedar mengakhiri pembicaraan, aku mengangguk.
* * *
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku
“Ng, Ma? Intan pengen bicara. Tapi, Mama jangan marah, ya?”
“Mau bicara apa, sayang? Sini, duduk.”
“Intan… Intan… ng…”
“Ada apa?”
“Intan hamil, Ma.”
“Ah? Kamu nggak beneran kan?”
“Ng… Intan nggak bohong, Ma. Reihan yang ngelakuin semuanya sama Intan.”
“Apa? Kamu hamil?” suara yang lebih berat mengagetkan kami berdua. Suara Papa.
“Kenapa kamu baru kasih tahu? Sudah jalan berapa bulan, Tan? Jawab!”
“Ng, 3 bulan, Pa.”
“Memalukan! Sekarang cepat kamu kemasi barang kamu, pergi dari sini!”
“Apa? Pa, ini bukan sepenuhnya salah Intan, Pa. Jangan seperti itu.” bujuk Mama, membelaku.
“Tidak. Ia sudah mencemari nama baik keluarga kita! Sekarang kamu keluar!”
Aku tertunduk, menatap lantai kamar. Mataku merah, mencoba menahan tangis.
“Tidak boleh, kita harusnya menemani Intan, bukan malah memojokkannya seperti ini!”
“Itu salahnya! Dan, kita harus menghukumnya.” Papa bersikeras. Ia memang orang yang tegas dan keras kepala.
“Kalau begitu aku ikut dengan Intan.” Mama berkata kemudian.
Aku terperangah, Mama mulai terseret dalam masalahku, kini.
“Ma… biarkan Intan sendiri yang menanggungnya. Intan yang salah…”
“Tidak, Mama harus tetap ikut dengan Intan. Ibu macam apa yang meninggalkan anaknya sendiri?”
Deg! Ingatan masa laluku berhenti sampai di situ. Aku tertegun. Termasuk golongan ibu macam apa aku? Meninggalkan anakku seorang diri di rumah sakit saat itu. Ya Tuhan. Ternyata aku memang seorang ibu yang jahat.
* * *
“Penampilan selanjutnya, sebuah nyanyian berjudul “Bunda” yang akan dibawakan oleh Putri Nayla.”
Aku melihatnya, berjalan ke atas panggung dengan kaki mungilnya, berdiri di sana memegang mic.
“Lagu ini kunyanyikan untuk Bunda-ku tersayang. Bunda itu orang yang baiiiik sekali. Bunda, dengerin Nayla nyanyi ya?” (Dia nggak mencoba berbohong, kan?)
Piano mulai berdenting pelan mengiringi irama lagu Nayla.
Aku mendengarkan liriknya dengan baik.
Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Bersih kecil belum ternoda
Dahulu penuh kasih (benarkah? Adakah kasih sayang yang ia rasakan dariku?)
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku (dimarahi, dibentak, dipukul… itulah riwayatnya semenjak ia besar di tanganku)
Kata mereka diriku selalu dimanja (aku bahkan tak pernah memanjakannya, malah berusaha membuatnya mandiri. Hidup tanpa bantuanku)
Kata mereka diriku selalu ditimang (selalu? Aku hanya melakukannya saat ia bayi. Itupun dengan unsur keterpaksaan)
Oh, bunda ada dan tiada dirimu ‘kan selalu ada di dalam hatiku…
Ya Tuhan, aku benar-benar ditegur lewat lagu itu.
Selama lima tahun ini, aku belum pernah membuat Nayla bahagia.
Selama lima tahun ini, kuhabiskan ‘tuk bergelut di pekerjaanku sendiri. Tak memedulikannya.
Selama lima tahun ini, aku selalu mengabaikannya.
Selama lima tahun ini, aku senantiasa memarahinya, bahkan mungkin bisa membuat jiwanya tertekan.
Ternyata selama lima tahun ini, aku bukanlah sesosok ibu yang patut dibanggakan.
Aku terlalu egois dengan duniaku sendiri.
Selalu saja ngotot bahwa semua perubahan yang ada di hidupku adalah salahnya.
Karena kehadirannya, karena kelahirannyalah aku terpaksa menjalani hidup seorang diri.
Tanpa Mama dan Papa, tanpa Reihan.
Semua menghilang dari hidupku.
Kepergian Mama karena tidak terbiasa hidup di lingkungan yang cukup sederhana, adalah kehilangan yang paling menyakitkan.
Dan kala itu, aku juga menyalahkan Nayla.
Padahal, semua ini bukanlah salah Nayla sepenuhnya.
Ini salahku, salah Reihan juga.
Andai saja saat itu aku tidak melakukan hal yang bodoh, mungkin aku tak meratapi nasib seperti saat ini.
Toh, nasi sudah menjadi bubur.
Mau tidak mau aku harus merawat Nayla. Seonggok daging yang mewarisi sifatku. (Hereditas :P)
Seharusnya aku membesarkannya dengan kasih sayang.
Sama seperti apa yang telah Mama lakukan terhadapku.
Bukan malah menyalahkannya setiap saat.
Ya Tuhan, maafkan aku.
Seusai menyanyi, Nayla turun dari panggung lalu seketika menghambur dalam pelukanku.
“Nayla sayang sama Bunda,”
“Bunda… juga sa…yang sama Nayla.” ucapku terbata-bata.
Itulah pertamakaliku memanggil diriku sendiri dengan ucapan Bunda. Bunda untuk Nayla.
“Bunda, Nayla mau nyanyi. Dengerin yah,” pintanya, menarik-narik bajuku.
“Enggak, aku lagi sibuk!”
“Sekali aja, bunda please…” ia memohon.
“Dibilangin lagi sibuk. Udah Nayla main ke sana aja!” sergahku.
“Yah, bunda. Padahal lagunya bagus.” Ia tertunduk kecewa kemudian kembali ke kamarnya.
Kalian pasti mengira aku kejam, bukan? Aku memang membenci bocah kecil itu sedari dulu, bahkan aku menolak mentah-mentah kehadirannya di hidupku. Iya, dia. Nayla. Darah dagingku sendiri.
* * *
“Nayla, pulang sama siapa?” berikut pertanyaan Ibu Risma, guru TK Nayla.
“Pulang sendiri, bu guru.”
“Nggak dijemput bunda, ya?”
“Enggak, bunda bilang, Nayla pulang sendiri saja. Bunda sibuk, katanya.” Jawab Nayla polos.
“Oh begitu.” Ibu Risma manggut-manggut sembari berpikir, sesibuk apa ibu Nayla hingga tak sempat menjemput anaknya sendiri.
Dan Nayla berjalan seorang diri, menempuh perjalanan sekitar 1 km untuk sampai di rumahnya.
* * *
“NAYLA! Kamu ‘kan yang menggambar di buku ini?” ujarku emosi, menggebrak pintu kamarnya.
“I..iya bunda. Nayla pikir, buku itu udah nggak kepake.”
“Sok tahu, kamu! Makanya, jangan iseng! Ini agenda penting, nggak perlu coretan tangan kamu!”
“Maaf, bunda.” Nayla tertunduk menahan tangis.
“Maaf, maaf. Sudah, nggak usah nangis. Cengeng banget.” gerutuku, meninggalkannya sendiri kamar. Dan Nayla meraih boneka kesayangannya, dan duduk di pojokan kamar. Bahunya bergoncang, ia menangis sesenggukan.
* * *
“Nggak! Kamu nggak boleh ninggalin aku!” jeritku padanya.
“Habis mau gimana lagi? Nikahin kamu, aku nggak bisa.”
“Kenapa nggak bisa? Harus bisa! Kamu yang udah ngebuat aku kayak gini!” air mata mulai membanjiri pipiku.
“Kamu kira nikah itu gampang? Lagian kita masih muda, dan aku masih mau senang-senang.”
PLAAAK! Tamparan kudaratkan di pipinya. Keras. Meninggalkan rona merah di wajahnya.
“Kamu kira aku nggak mau nikmatin masa mudaku? Kamu kira aku siap menjalani semuanya, hah? Kamu harus tanggung jawab!” paksaku, tak menyerah.
“Maaf, mungkin kamu nganggep aku pengecut, Tan. Tapi, aku nggak bisa...” ucapnya kemudian perlahan meninggalkanku.
“WHAT? Sependek itukah jalan keluarnya? Reihan! Mana janjimu kalau kamu bakal nikahin aku? Mana?”
* * *
“Ibu Intan, ada telepon untuk Anda.”
“Oh, tolong sambungkan segera.”
“Baik, bu.”
“Halo, dengan Ibu Intan? Bu, ini saya Maida, tetangga ibu. Nayla kecelakaan, Bu.”
“Hah? Di mana?”
“Sekarang Nayla ada di rumah sakit Harapan, Bu.”
“Oh, baiklah, nanti saya akan pergi ke sana. Terima kasih infonya.” Aku meletakkan gagang telepon. Ckckck, anak itu tidak berhenti-berhentinya mengusik hidupku.
Sesampainya aku di rumah sakit, aku menemukan Ibu Risma, guru Nayla duduk di sampingnya. Mukanya pucat, sangat khawatir.
“Anda… Ibu Intan? Mamanya Nayla?”
“Iya. Kenapa?”
“Kenapa Anda tega membiarkan Nayla pulang seorang diri?” tanyanya tegas.
“Lah, dia kan sudah besar. Bisa jalan sendiri.” tanggapku santai.
“Besar? Dia masih 5 tahun, Bu! Sungguh, ada dendam apa Anda sama Nayla?”
“Bukan urusan kamu.” Aku memalingkan muka daripadanya.
“Saya sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran Anda. Dia itu anak Anda.” Ujarnya menggeleng-gelengkan kepala. Lalu, keluar meninggalkanku berdua dengan dia. Anak katanya? Lalu, apa peduliku? Dia anak yang menyusahkan! Aku melengos.
* * *
Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Bersih kecil belum ternoda…
Hari ini, aku sendirian di rumah. Nayla masih tergolek lemas di rumah sakit. Tidak mungkin kan aku menungguinya selama 24 jam penuh? Hidupku kan bukan hanya dia saja. Aku mulai membereskan rak yang ditumpuki oleh buku-buku akuntansi dan album masa kecilku. Ada fotoku digendong Mama. Mungil dan menggemaskan. Ma, Intan rindu sama Mama… Kubalik lembaran selanjutnya. Di situ ada foto Mama sedang menyuapiku. Juga ada saat ia bermain-main denganku. Aku bisa menemukan wajah Mama yang begitu sabar dan penuh kasih dalam membesarkanku. Lantas, mengapa aku tak bisa menerapkan hal yang sama kepada Nayla? Ah, ini hidupku. Tentu saja berbeda. Lagipula, aku tak menginginkan Nayla muncul di hidupku. Dia hanya mengobrak-abrik kisah hidup dan kisah cintaku.
* * *
Ah, hari ini aku tidak lagi sendirian di rumah. Kebebasan itu hanya kunikmati sekejap mata. Nayla telah kembali sehat seperti sediakala. Ckck, bahkan sekarang ia kembali meracau.
“Bunda, bunda. Besok, di sekolah Nayla ada acara lho. Bunda datang ya? Nayla disuruh nyanyi sama ibu guru. Katanya suara Nayla bagus,” ajaknya padaku.
“Enggak ah, males. Ngapain coba? Mending di rumah nonton tv.”
“Yah, Bunda. Ayo dong, nonton Nayla. Semua teman-teman Nayla ngajak orangtuanya, lho. Jadi, Nayla mau ngajak Bunda juga. Bunda mau ya?”
“Itu kan mereka, bukan aku. Kalau aku nggak bisa, gimana?”
“Sekaliiii aja, bunda. Ya?” pintanya terus memohon.
Huh, anak kecil pengganggu. Padahal besok aku sedang mengambil cuti. Lelah dengan rutinitas sehari-hari. Masakan harus diganggu dengan acaranya tak penting itu? Sekedar mengakhiri pembicaraan, aku mengangguk.
* * *
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku
“Ng, Ma? Intan pengen bicara. Tapi, Mama jangan marah, ya?”
“Mau bicara apa, sayang? Sini, duduk.”
“Intan… Intan… ng…”
“Ada apa?”
“Intan hamil, Ma.”
“Ah? Kamu nggak beneran kan?”
“Ng… Intan nggak bohong, Ma. Reihan yang ngelakuin semuanya sama Intan.”
“Apa? Kamu hamil?” suara yang lebih berat mengagetkan kami berdua. Suara Papa.
“Kenapa kamu baru kasih tahu? Sudah jalan berapa bulan, Tan? Jawab!”
“Ng, 3 bulan, Pa.”
“Memalukan! Sekarang cepat kamu kemasi barang kamu, pergi dari sini!”
“Apa? Pa, ini bukan sepenuhnya salah Intan, Pa. Jangan seperti itu.” bujuk Mama, membelaku.
“Tidak. Ia sudah mencemari nama baik keluarga kita! Sekarang kamu keluar!”
Aku tertunduk, menatap lantai kamar. Mataku merah, mencoba menahan tangis.
“Tidak boleh, kita harusnya menemani Intan, bukan malah memojokkannya seperti ini!”
“Itu salahnya! Dan, kita harus menghukumnya.” Papa bersikeras. Ia memang orang yang tegas dan keras kepala.
“Kalau begitu aku ikut dengan Intan.” Mama berkata kemudian.
Aku terperangah, Mama mulai terseret dalam masalahku, kini.
“Ma… biarkan Intan sendiri yang menanggungnya. Intan yang salah…”
“Tidak, Mama harus tetap ikut dengan Intan. Ibu macam apa yang meninggalkan anaknya sendiri?”
Deg! Ingatan masa laluku berhenti sampai di situ. Aku tertegun. Termasuk golongan ibu macam apa aku? Meninggalkan anakku seorang diri di rumah sakit saat itu. Ya Tuhan. Ternyata aku memang seorang ibu yang jahat.
* * *
“Penampilan selanjutnya, sebuah nyanyian berjudul “Bunda” yang akan dibawakan oleh Putri Nayla.”
Aku melihatnya, berjalan ke atas panggung dengan kaki mungilnya, berdiri di sana memegang mic.
“Lagu ini kunyanyikan untuk Bunda-ku tersayang. Bunda itu orang yang baiiiik sekali. Bunda, dengerin Nayla nyanyi ya?” (Dia nggak mencoba berbohong, kan?)
Piano mulai berdenting pelan mengiringi irama lagu Nayla.
Aku mendengarkan liriknya dengan baik.
Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Bersih kecil belum ternoda
Dahulu penuh kasih (benarkah? Adakah kasih sayang yang ia rasakan dariku?)
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku (dimarahi, dibentak, dipukul… itulah riwayatnya semenjak ia besar di tanganku)
Kata mereka diriku selalu dimanja (aku bahkan tak pernah memanjakannya, malah berusaha membuatnya mandiri. Hidup tanpa bantuanku)
Kata mereka diriku selalu ditimang (selalu? Aku hanya melakukannya saat ia bayi. Itupun dengan unsur keterpaksaan)
Oh, bunda ada dan tiada dirimu ‘kan selalu ada di dalam hatiku…
Ya Tuhan, aku benar-benar ditegur lewat lagu itu.
Selama lima tahun ini, aku belum pernah membuat Nayla bahagia.
Selama lima tahun ini, kuhabiskan ‘tuk bergelut di pekerjaanku sendiri. Tak memedulikannya.
Selama lima tahun ini, aku selalu mengabaikannya.
Selama lima tahun ini, aku senantiasa memarahinya, bahkan mungkin bisa membuat jiwanya tertekan.
Ternyata selama lima tahun ini, aku bukanlah sesosok ibu yang patut dibanggakan.
Aku terlalu egois dengan duniaku sendiri.
Selalu saja ngotot bahwa semua perubahan yang ada di hidupku adalah salahnya.
Karena kehadirannya, karena kelahirannyalah aku terpaksa menjalani hidup seorang diri.
Tanpa Mama dan Papa, tanpa Reihan.
Semua menghilang dari hidupku.
Kepergian Mama karena tidak terbiasa hidup di lingkungan yang cukup sederhana, adalah kehilangan yang paling menyakitkan.
Dan kala itu, aku juga menyalahkan Nayla.
Padahal, semua ini bukanlah salah Nayla sepenuhnya.
Ini salahku, salah Reihan juga.
Andai saja saat itu aku tidak melakukan hal yang bodoh, mungkin aku tak meratapi nasib seperti saat ini.
Toh, nasi sudah menjadi bubur.
Mau tidak mau aku harus merawat Nayla. Seonggok daging yang mewarisi sifatku. (Hereditas :P)
Seharusnya aku membesarkannya dengan kasih sayang.
Sama seperti apa yang telah Mama lakukan terhadapku.
Bukan malah menyalahkannya setiap saat.
Ya Tuhan, maafkan aku.
Seusai menyanyi, Nayla turun dari panggung lalu seketika menghambur dalam pelukanku.
“Nayla sayang sama Bunda,”
“Bunda… juga sa…yang sama Nayla.” ucapku terbata-bata.
Itulah pertamakaliku memanggil diriku sendiri dengan ucapan Bunda. Bunda untuk Nayla.
Subscribe to:
Posts (Atom)