Wednesday, July 11, 2012

Autobiografi masuk di Universitas Indonesia


Di tengah asyiknya membicarakan jurusan saat kuliah nanti,
“Nad, mau masuk apa pas kuliah?”
“InsyaAllah, Sastra Indonesia UI.”
“Kok sastra Indonesia, sih?”
* * *
Pertanyaan itu kerap kali terngiang di telinga tatkala aku menyebutkan jurusan idamanku. Mengapa? Apa ada yang salah? Tak pantaskah aku mengecap ilmu di jurusan yang bertitel sastra Indonesia? Pertanyaan yang begitu merasuk hati, mengganggu. Dalam hati, aku hanya bisa berharap semoga orang tuaku merestui jurusan ini. Namun alangkah sayangnya, ternyata keinginanku ditolak mentah-mentah, apalagi oleh ibuku. Beliau tidak meridai keinginanku berkuliah di jurusan sastra.
“Kalau tetap bersikeras kuliah di situ, saya tidak mau membiayai,” MasyaAllah! Apa yang ada di pikiran beliau saat itu? Bagaimana pula aku bisa membiayai kuliah sendiri? Ayah mencoba memberi saran,
“Coba Nadia cari jurusan lain. Kamu sudah berbalik arah ke IPS, kan? Jurusan banyak, kok, bukan cuma sastra Indonesia. Apa kamu takut tidak lulus SNMPTN?”
Aku hanya bisa terdiam mendengarkan pembicaraan yang berlangsung di telepon itu. Apa kamu takut tidak lulus SNMPTN lantas memilih jurusan sastra Indonesia? Satu kali pun aku tidak memikirkan kemungkinan itu. Aku memilih jurusan sastra Indonesia karena aku memang benar-benar ingin mendalami seluk-beluk sastra. Aku yang notabene jebolan anak IPA pun memilih jurusan IPS saat les intensif SNMPTN. Mengapa? Jawabannya singkat, aku tidak begitu suka menghitung. Otakku hanya mampu menghapal. Awal semester kelas tiga, aku belajar IPS secara otodidak. Banyak temanku yang berkomentar, “Deh, Nad, kamu cepat amat belajarnya. Ujian masih lama, kok.” Aku hanya bisa tersenyum tipis kala itu.

Mimpi kita tidaklah sama, teman. Jika kita berani bermimpi tinggi maka wujudkanlah!
* * *
Mimpi ini tak akan terwujud jika hatiku masih terombang-ambing. Aku memerlukan dukungan. Suatu ketika, aku bertanya kepada adik kelas yang memiliki orang tua alumni sastra Indonesia. Mendengar pertanyaanku, ia menjawab, “Sastra Indonesia, kak? Aih, tidak usah, kak. Paling juga hanya mengajar di almamaternya seperti ayahku.” Glek. Yah, ternyata jawabannya seperti itu. Jawaban yang sama juga kudapatkan dari teman sesama hobi menulis, “Nadia mau masuk sastra Indonesia? Nggak usah, deh. Mamaku juga kuliah S-2 Sastra. Materinya tuh, ngebosenin banget. Nggak seru.” Duh, betapa kenyataan pahit yang kudapatkan. Apakah jurusan yang kupilih ini sudah benar? Ya Allah, aku tidak tahu. Aku hanya mau berkuliah di sastra Indonesia. Titik.
“Kalau mau sastra, kenapa nggak sastra Inggris saja, Nad?”
“Yah, eh… Aku lebih suka sastra Indonesia. Mau gimana lagi? Pengin jadi dosen sastra Indonesia,” jawabku terkekeh kecil sambil garuk-garuk kepala.
“Kamu mau jadi penulis kan, Nad? Jadi itu alasannya mau masuk sastra Indonesia? Banyak, tuh, penulis-penulis hebat lainnya dan bukan berasal dari jurusan sastra Indonesia.”
“Mau makan apa kamu dengan pegangan sastra Indonesia?”
Namun, perkataan ter-nyesek adalah… “Nad, ngapain jauh-jauh ke UI kalau pada ujungnya sastra Indonesia? Ckckck. Pilih yang lain saja.” Hati rasanya teriris-iris, pedih. Beberapa diantaranya bahkan menertawakan ideku itu. Ah, sastra Indonesia, seburuk itukah dirimu di pandangan khalayak ramai?

Ketika di sekolah, kami seangkatan diminta untuk menuliskan pilihan jurusan saat kuliah nanti. Saat itu, aku bertanggung jawab untuk mengumpulkan data anak-anak sekelas. Di selembar kertas itu tertera puluhan jurusan yang diingini. Kedokteran pun mendominasi. Lalu teknik. Masih banyak lagi yang lainnya. Lucu saja, satu-satunya jurusan sastra –sastra Indonesia pula– berada di tengah kerumunan jurusan yang bergengsi. Jadi maksudmu, sastra Indonesia nggak bergengsi, Nad? Eh, bukan begitu maksudku. Aku hanya menyimpulkan dari berbagai tanggapan miring yang melayang ke arahku. Dan benar saja… “Wets, siapa yang mau masuk sastra Indonesia, nih?” sahut temanku yang bergerombol di meja guru berdesakan melihat jurusan yang diinginkan oleh anak-anak sekelas. Biasa, melihat saingan sejurusan. “Ciyeee, Nadia!” Nah, kan? Itu pujian atau ledekan? Anggap sebagai dukungan saja lah.

Ketika masyarakat menganggapmu remeh maka diam saja. Tunggulah beberapa tahun lagi dan bawalah kesuksesan yang telah kamu capai ke hadapan mereka.
* * *
Namun alhamdulillah, setelah sekian lama ternyata ada juga yang mendukungku. Di antaranya teman-teman baik, murabbiyah, tentor, dan kakak kelas. Satu pendapat kakak kelas yang masih kupegang erat hingga kini, “Tidak ada jurusan yang dibentuk jika tidak mempunyai peluang kerja. Tenang saja, Nad.” Kata-kata luar biasa itu membangun kembali semangatku hingga aku terus berjuang. Biarlah jika artinya harus berjuang seorang diri. Bukankah orang-orang sukses terlebih dahulu juga diremehkan? Beberapa karya mereka bahkan tidak diakui. Akan tetapi, waktulah yang berkuasa. Detik, jam, hingga tahun membuktikan kerja keras mereka. Tak peduli akan cercaan, mereka terus bergerak maju. Maka aku juga harus bisa mencontoh jejak mereka! Buktikan bahwa dirimu bisa. Kamu BISA!

Di saat kamu merasa pendapatmu benar, mengapa harus takut?
* * *
Untuk beberapa lama, aku tidak menanggapi omongan orang tua mengenai pembahasan jurusan. Sungguh, aku tidak ingin semangatku drop lagi. Aku terus berdoa kepada Yang Mahakuasa. Meminta petunjuk serta kemudahan. Alhamdulillah, hati orang tuaku mulai melunak. Mereka mengizinkanku menaruh sastra Indonesia di pilihan kedua. Bukan main, doaku terjawab! Terima kasih, Ya Allah. Waktu demi waktu berlalu, SNMPTN pun sudah berdiri tegak di hadapan. Dengan mengucapkan bismillah, berbekal restu dari orangtua, juga doa dari teman-teman semuanya, aku melangkah mantap menuju ruang tes.
Selesai mengikuti tes yang begitu mendebarkan, aku langsung meminta penjelasan dari kakak-kakak tentor tempatku menimba ilmu sekunder saat itu. Tempat les. Agak nekat juga sih, takut mendadak stres menerima kenyataan. Bagaimana kalau nyatanya jawabanku banyak yang salah? Namun, rasa penasaran akan jawaban yang sebenarnya mengalahkan ketakutanku saat itu. Lagipula, materi yang akan kudapatkan insyaAllah bermaanfaat di SIMAK UI –cadangan– yang akan kujalani. Ya, walaupun begitu yakin dengan pilihan kita, tak ada salahnya kan menyiapkan cadangan? Bahkan jika memungkinkan, siapkan beberapa cadangan pilihan. Begitulah kira-kira redaksi kalimat ayahku.
* * *
Tanggal 7 Juli 2012 tinggal menghitung hari. Isu-isu yang bergelimpangan begitu meresahkan hati. Ada yang mengatakan pengumuman tanggal 3 Juli, bahkan ada yang berkata tepat tanggal 1 Juli. Bagaimana pula ini? Hingga aku melihat postingan di facebook yang dikutip dari www.okezone.com, bahwa pengumuman SNMPTN dapat dilihat tanggal 6 Juli 2012. Gemetar, takut, resah, pasrah, semua bercampur aduk. Apakah impianku tidak terlalu tinggi? Aku begitu mendambakan status menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia. Semoga pilihanku tidak salah. Aku memantapkan dalam hati, jika rezekiku memang bertempat di sana, insyaAllah aku akan lulus. Jangan sekali-kali meragukan kekuasaan-Nya. Malam itu, aku melaksanakan salat hajat. Berdoa tak putus-putus kepada-Nya. Mengharapkan jawaban terbaik di keesokan hari.

Jangan pernah melupakan kehadiran Tuhan didekatmu. Gantungkanlah nasibmu hanya kepada-Nya.
* * *
Aku tengah berkutat di laptop. Mencoba membuka laman www.snmptn.ac.id yang sedari tadi tak bisa diakses. Error. Ketakutan pun menyergap, semoga ini bukan pertanda buruk. Setelah beberapa kali mencoba, halaman itu pun terbuka. Tampilannya sederhana. Namun entah, terlihat semrawut di pandanganku. Mungkin karena faktor gugup yang kualami. Perlahan, aku memasukkan nomor ujian, 312-82-03706, tanggal lahir, dan mengikuti huruf-huruf yang tertera pada gambar. Lalu, klik! Loading… Selamat atas keberhasilan Anda!

Nadia Almira Sagitta diterima di Sastra Indonesia, Universitas Indonesia.

SubhanAllah! Alhamdulillah! Ternyata takdir-Mu kepadaku sungguh indah. Terima kasih, Ya Allah. Orang tua pun tampak bergembira walaupun hasil ini tak sesuai yang diharapkan oleh ibundaku Akan tetapi, beliau tak bisa menyembunyikan seraut wajah bangga terhadap anak sulungnya ini. Tak kusangka, akhirnya aku meraih awal dari mimpi-mimpiku. Ya, ini barulah langkah awal. Semoga aku bisa sukses di bidang yang akan kugeluti kemudian. Dan, aku akan membuktikan kepada semua bahwa jurusan sastra tidaklah seburuk yang mereka sangka, bahkan sama kerennya dengan jurusan-jurusan lain. Semoga Allah selalu meridai jalanku. Bismillah…

Kesuksesan itu membutuhkan tiga hal, keberanian, kerja keras, dan doa…
* * *