Sudut pandang orang pertama
tetapi tak selamanya merujuk kepada penulis
Waktu itu membiasakan.
Dulunya candu akan kabar satu sama lain, kini terbiasa tak mendengar sepatah kata pun dari seberang. Dulunya cemburu tanpa alasan, kini otak bertindak lebih rasional. Dulunya tak lihai mengerjakan ini dan itu, kini karena adanya keharusan, pekerjaan tersebut menjadi kebiasaan.
Waktu itu mendamaikan.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk berdamai dengan masa lalu. Masa lalu itu berarti menyangkutpautkan engkau, orang-orang di sekitarmu, serta lingkunganmu. Aku belajar memupuskan benci karena tahu itu tak ada guna melainkan hanya memberat-beratkan hati saja. Semalam aku bertemu dengan dia, gadis dambaan jiwa yang sering kau ceritakan. Menurut silsilah yang kutahu, gadis itu kawanku walaupun belum juga terbilang sahabat. Sementara, menurut emosiku, gadis itu adalah rivalku, sainganku. Sepatutnya, aku tak berbasa-basi dengannya karena melihatnya saja mengingatkanku akan engkau. Seharusnya, namanya kucoret dari daftar perkawanan karena hanya kepedihan yang ia bawa. Kawan macam apa? Kau kira bagaimana rasanya melihat seorang kawan dicintai oleh seseorang yang kaupuja pula? Memangnya serta-merta kau terima dengan lapang dada? Ah tetapi ini bukan salahnya, mata dan hatiku saja yang tertutup cemburu.
Namun, waktu mendewasakanku. Ia membujukku memaafkan masa lalu dan menerima kenyataan sepahit apa jua. Dan akhirnya memang begitu. Gadis itu, kawanku, kusapa dan kuajak bercengkrama. Aku yang awalnya hendak ke arah yang berlainan tetiba memutar tujuan demi membersamainya lebih lama. Kuberikan senyum paling tulus yang kubisa dan tidak kubuat-buat, tetapi terserahlah jika kau mengiranya lain. Aku sedang mencoba menjadi kawan yang baik. Kukesampingkan perasaan yang telah lama berdebu di pojokan. Justru karena sudah tidak ada apa-apa, sewajarnyalah aku menormalkan semua hal, termasuk berbicara layaknya kawan lama dengannya. Tak ada lagi cemburu yang dulu, aku menghela napas, lega.
Kalau ini yang kau sebut move on maka aku sedang melakukannya. Mungkin suatu ketika, aku bisa menceritakan kisah cinta ini pada orang lain dengan kalem tanpa emosi yang menggebu-gebu.
Pupusnya cinta tidak selalu diikuti oleh pupusnya luka, tetapi untuk kasusku, aku yakin bisa. Sebab tiada guna membiarkan luka menganga, lebih baik belajar rela dan menerima, mengusahakan luka tertutup sempurna. Menaruh dendam hanya akan membuat hati remuk redam. Aku tidak ingin menyusahkan hidupku sendiri.
Waktu itu mempertemukan...
dua jiwa yang telah lama menanti
namun tak patah berharap.
Aku juga akan bertemu kau, nanti
tinggal menunggu waktu
tanpa insiden salah jalur lagi!
Cheers,
Nadia Almira Sagitta
tetapi tak selamanya merujuk kepada penulis
Waktu itu membiasakan.
Dulunya candu akan kabar satu sama lain, kini terbiasa tak mendengar sepatah kata pun dari seberang. Dulunya cemburu tanpa alasan, kini otak bertindak lebih rasional. Dulunya tak lihai mengerjakan ini dan itu, kini karena adanya keharusan, pekerjaan tersebut menjadi kebiasaan.
Waktu itu mendamaikan.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk berdamai dengan masa lalu. Masa lalu itu berarti menyangkutpautkan engkau, orang-orang di sekitarmu, serta lingkunganmu. Aku belajar memupuskan benci karena tahu itu tak ada guna melainkan hanya memberat-beratkan hati saja. Semalam aku bertemu dengan dia, gadis dambaan jiwa yang sering kau ceritakan. Menurut silsilah yang kutahu, gadis itu kawanku walaupun belum juga terbilang sahabat. Sementara, menurut emosiku, gadis itu adalah rivalku, sainganku. Sepatutnya, aku tak berbasa-basi dengannya karena melihatnya saja mengingatkanku akan engkau. Seharusnya, namanya kucoret dari daftar perkawanan karena hanya kepedihan yang ia bawa. Kawan macam apa? Kau kira bagaimana rasanya melihat seorang kawan dicintai oleh seseorang yang kaupuja pula? Memangnya serta-merta kau terima dengan lapang dada? Ah tetapi ini bukan salahnya, mata dan hatiku saja yang tertutup cemburu.
Namun, waktu mendewasakanku. Ia membujukku memaafkan masa lalu dan menerima kenyataan sepahit apa jua. Dan akhirnya memang begitu. Gadis itu, kawanku, kusapa dan kuajak bercengkrama. Aku yang awalnya hendak ke arah yang berlainan tetiba memutar tujuan demi membersamainya lebih lama. Kuberikan senyum paling tulus yang kubisa dan tidak kubuat-buat, tetapi terserahlah jika kau mengiranya lain. Aku sedang mencoba menjadi kawan yang baik. Kukesampingkan perasaan yang telah lama berdebu di pojokan. Justru karena sudah tidak ada apa-apa, sewajarnyalah aku menormalkan semua hal, termasuk berbicara layaknya kawan lama dengannya. Tak ada lagi cemburu yang dulu, aku menghela napas, lega.
Kalau ini yang kau sebut move on maka aku sedang melakukannya. Mungkin suatu ketika, aku bisa menceritakan kisah cinta ini pada orang lain dengan kalem tanpa emosi yang menggebu-gebu.
Pupusnya cinta tidak selalu diikuti oleh pupusnya luka, tetapi untuk kasusku, aku yakin bisa. Sebab tiada guna membiarkan luka menganga, lebih baik belajar rela dan menerima, mengusahakan luka tertutup sempurna. Menaruh dendam hanya akan membuat hati remuk redam. Aku tidak ingin menyusahkan hidupku sendiri.
Waktu itu mempertemukan...
dua jiwa yang telah lama menanti
namun tak patah berharap.
Aku juga akan bertemu kau, nanti
tinggal menunggu waktu
tanpa insiden salah jalur lagi!
Cheers,
Nadia Almira Sagitta
No comments:
Post a Comment