Tuesday, December 20, 2011
KUTUKAN 11
Nadia itu:
1. A bit Talkative
"What? A bit? Just a bit? She is more than a bit!!" hehe, itu komentar temenku soal kecerewetanku yang katanya nggak ketulungan. Semuaaaaa diceritain. Walaupun sebagian besar cerita tentang kehidupanku, sih. Hahaha, well, ada mulut kok nggak dipake gitu, lho. Maksimalin aja! Selama nggak bikin orang sedih, kan? Nggak suka gosip, kok. :P
2. Buku
Books, books, everywhere. Wah, di kamarku tuh udah jadi lautan buku! Gimana enggak, semua buku beterbaran di lantai. Habis baca, taruh deh. Haha, sumpah, buku itu... duniaku banget. Bisa lupa makan, lupa mandi, lupa segala ketika aku dipertemukan dengannya! --> weleh". Karena yah, sebenarnya aku itu kutu buku. Semua yang ada tulisannya pasti dibabat habis, deh!
3. Berantakan
"Ckckck... Ini kamar cewek apa kamar cowok, sih? Berantakan banget." komentarnya setelah melihat kamarku yang penuh barang di lantai, tempat tidur dan meja belajar. Astaga, berantakan banget #plak! "Kok, nggak diberesin?" lanjutnya.
"Hehe, malas. Ntar juga kotor lagi."
Well, jawaban yang sangat tidak tepat untuk diberikan kepada sang ibu. Lah, wong pribadiku udah kayak gini. Nanti aja deh yaa diubahnya, peace! ^^v
4. Cuek
Inilah aku! Cuek sama keadaan, terkadang. Sampai biasa dikomentarin, "Kamu tuh cuek banget dengan lingkunganmu ya, Nad." Hihi, aku kan autis sebenarnyaaa :P
5. GR
Hahaha, ampun dah, udah berapa kali ya, temen-temen ngatain aku itu GEER be ge te? Tau ah, ratusan kali, mungkin. ^^v well, haha aku bangga dengan diriku sendiri. Lagipula, Nadia emang manis, kan? --> Hmph, mulai lagi deh.
6. Cemal-Cemil
Nadia hobi banget makan kue, permen, es krim, atau apapun yang bsia di emut lah! Apalgi yang manis-manis. Sesuai orangnya juga sih, MANIS. Ups, hehe. Sayangnya, dengan hobi yang sulit dikontrol ini, Nadia tetep setia dengan tubuh kurusnya. Ga nambah-nambah! *Sigh
7. SKSD
"Hei, nama kamu siapa?"
"Sekolah di mana?"
"Eh, eh, tau enggak...?"
Kalimat pembuka pembicaraan yang standar, tapi cukup memancing untuk kenalan. Haha, aku seneeeng banget kenalan dengan orang baru. Nambah temen gitu deh, terus habis kenalan yaa... biasa minta nomor telepon, atau fb atau twitter, (dengan tanpa rasa malu) Dasar SKSD!
8. Aceria
Well, aceria apaan ya? Haha, ini laptopku! Namanya Aceria karena selalu membuatku senang, di sini aku serin numpahin curhat, ngebuang semua ide yang akhirnya menjadi suatu tulisan, tempat narsis, playing game, dengerin musik, semua lah. Duniaku bangeeet! Hha, autis ya?
9. Lelet
"Nad, di mana?"
"Hmm, masih.. di rumah.."
"Ya ampuun! Udah daritadi, masih di rumah?"
Hehe, Nadia tuh orangnya lelet bangeet, sinkron dah sama sifat pemalasnya!
10. Facebook
Paling sering update tentang di hidupnya di Facebook! Ckcck, fanatik banget. Padahal kan ada jejaring sosial yang lain. Tapi, menurutku facebook itu paling lengkap kap kap, dah! Ada notes-nya buat tempatku menerbitkan cerpen atau kata-kata nggak jelas terbaru, ada album photo-nya, buat nampilin kenarsisanku, statusnya boleh panjang-panjang, gitu gitu deh. Dah malas kalau harus indah ke lain hati.
11. Galau
Wuaw, RATU GALAU! Itu identitas baruku. Semua temen ngejulukin kayak gitu. Tega amet, yee? Tapi, emang bener kok. Hiks, udah galau untuk 5 orang, cuyy! Kalau lagi galau biasanya update status di facebook. Yang bertema galau tentunya. Kadang aku terdiam nggak jelas, menerawang, hiks, kadang nangis juga sih --> tapi jarang. Hmm, dasar cowok-cowok nggak bertanggung jawab! Kalian membuatku galau sekian lama, hiks #ngambiltisu #dramaqueen
1. Cita-cita kamu waktu kecil apa?
Pengen jadi pramugari. Nampak cantik aja dengan rok panjangnya walaupun dengan belahan rok yang tak kalah panjangnya, rambut yang disanggul, jalannya yang anggun. Cantik. Sempurna. Sebenarnya pengen jadi pembicara di pesawatnya itu, lho. Saya suka aksen bahasa inggrisnya.
2. Enak mana, jomblo atau punya pacar? Alasan?
Jomblo. Cause yaa, kalau pacar mah bisa putus. Sakit hati juga ujung-ujungnya. Mending jomblo aja terus sampe nikah, iya nggak? :)
3. Tempat di Indonesia yang paling pengen dikunjungi?
Kalimantan dan Papua, pengen ke kota yang lebih "alam" dibanding kota dengan bangunan pun pabrik yang tegak dengan megahnya.
4. Kalau udah nikah, pengen bulan madu ke mana?
Eropa, romantis gimana gitu :P
5. Pilih mana, Julia Perez atau Dewi Persik?
Julia Perez. Entah mungkin karena wajahnya terlihat lebih "menjual" dan elegan dibanding Dewi Persik.
6. Paling suka baca buku dengan genre apa?
Drama queen, romantis juga boleh :D
7. Sebutkan musuh Ksatria Baja Hitam RX di Dunia Crisis siapa saja!
I dun have any idea about this -,-
8. Kalau dikasih kesempatan punya adik kandung lagi, mau cewek atau cowok? Alasan?
Saya mau adik cowok. Berhubung saya sudah punya adik cewek yang sumpah, nakalnya nggak ketulungan. Nyari suasana baru aja, kan seru tuh kalau punya adik cowok ^^
9. Suka galau nggak? Kalau iya, biasanya galau karena apa?
Banget! Sampe temen-temen bilangnya saya itu ratu galau. Well, gara-gara mencintai seseorang dalam diam, juga mengetahui bahwa sesungguhnya tidak boleh terlalu dekat dengan orang yang bukan muhrim dalam ajaran agama. Well, sepenuhnya galau gara-gara cinta sih.
10. Kriteria cewek/cowok yang kamu mau jadi pasangan hidup selamanya kayak gimana?
Yang beriman, yang bisa membimbing saya ke jalan yang benar.
Yang perhatian, siapa sih yang nggak suka diperhatiin?
11. Pendapatmu gimana tentang novel online saya, CoupL(ov)e? Kurangnya apa, lebihnya apa?
Waaa~ bagus begete. Top abeees! Lihai banget deh, ngaduk-ngaduk perasaanku. Aku sampai nangis lho! Akhir yang tak terduga.
Hanya saja, yah, mungkin karena aku masih SMA belum terbiasa dengan cerita berlatarkan pernikahan. Hahaha, tapi secara keseluruhan keren lho, :D three thumbs up (emang ada?)
Tuesday, December 13, 2011
Bunda Untuk Nayla
“Bunda, Nayla mau nyanyi. Dengerin yah,” pintanya, menarik-narik bajuku.
“Enggak, aku lagi sibuk!”
“Sekali aja, bunda please…” ia memohon.
“Dibilangin lagi sibuk. Udah Nayla main ke sana aja!” sergahku.
“Yah, bunda. Padahal lagunya bagus.” Ia tertunduk kecewa kemudian kembali ke kamarnya.
Kalian pasti mengira aku kejam, bukan? Aku memang membenci bocah kecil itu sedari dulu, bahkan aku menolak mentah-mentah kehadirannya di hidupku. Iya, dia. Nayla. Darah dagingku sendiri.
* * *
“Nayla, pulang sama siapa?” berikut pertanyaan Ibu Risma, guru TK Nayla.
“Pulang sendiri, bu guru.”
“Nggak dijemput bunda, ya?”
“Enggak, bunda bilang, Nayla pulang sendiri saja. Bunda sibuk, katanya.” Jawab Nayla polos.
“Oh begitu.” Ibu Risma manggut-manggut sembari berpikir, sesibuk apa ibu Nayla hingga tak sempat menjemput anaknya sendiri.
Dan Nayla berjalan seorang diri, menempuh perjalanan sekitar 1 km untuk sampai di rumahnya.
* * *
“NAYLA! Kamu ‘kan yang menggambar di buku ini?” ujarku emosi, menggebrak pintu kamarnya.
“I..iya bunda. Nayla pikir, buku itu udah nggak kepake.”
“Sok tahu, kamu! Makanya, jangan iseng! Ini agenda penting, nggak perlu coretan tangan kamu!”
“Maaf, bunda.” Nayla tertunduk menahan tangis.
“Maaf, maaf. Sudah, nggak usah nangis. Cengeng banget.” gerutuku, meninggalkannya sendiri kamar. Dan Nayla meraih boneka kesayangannya, dan duduk di pojokan kamar. Bahunya bergoncang, ia menangis sesenggukan.
* * *
“Nggak! Kamu nggak boleh ninggalin aku!” jeritku padanya.
“Habis mau gimana lagi? Nikahin kamu, aku nggak bisa.”
“Kenapa nggak bisa? Harus bisa! Kamu yang udah ngebuat aku kayak gini!” air mata mulai membanjiri pipiku.
“Kamu kira nikah itu gampang? Lagian kita masih muda, dan aku masih mau senang-senang.”
PLAAAK! Tamparan kudaratkan di pipinya. Keras. Meninggalkan rona merah di wajahnya.
“Kamu kira aku nggak mau nikmatin masa mudaku? Kamu kira aku siap menjalani semuanya, hah? Kamu harus tanggung jawab!” paksaku, tak menyerah.
“Maaf, mungkin kamu nganggep aku pengecut, Tan. Tapi, aku nggak bisa...” ucapnya kemudian perlahan meninggalkanku.
“WHAT? Sependek itukah jalan keluarnya? Reihan! Mana janjimu kalau kamu bakal nikahin aku? Mana?”
* * *
“Ibu Intan, ada telepon untuk Anda.”
“Oh, tolong sambungkan segera.”
“Baik, bu.”
“Halo, dengan Ibu Intan? Bu, ini saya Maida, tetangga ibu. Nayla kecelakaan, Bu.”
“Hah? Di mana?”
“Sekarang Nayla ada di rumah sakit Harapan, Bu.”
“Oh, baiklah, nanti saya akan pergi ke sana. Terima kasih infonya.” Aku meletakkan gagang telepon. Ckckck, anak itu tidak berhenti-berhentinya mengusik hidupku.
Sesampainya aku di rumah sakit, aku menemukan Ibu Risma, guru Nayla duduk di sampingnya. Mukanya pucat, sangat khawatir.
“Anda… Ibu Intan? Mamanya Nayla?”
“Iya. Kenapa?”
“Kenapa Anda tega membiarkan Nayla pulang seorang diri?” tanyanya tegas.
“Lah, dia kan sudah besar. Bisa jalan sendiri.” tanggapku santai.
“Besar? Dia masih 5 tahun, Bu! Sungguh, ada dendam apa Anda sama Nayla?”
“Bukan urusan kamu.” Aku memalingkan muka daripadanya.
“Saya sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran Anda. Dia itu anak Anda.” Ujarnya menggeleng-gelengkan kepala. Lalu, keluar meninggalkanku berdua dengan dia. Anak katanya? Lalu, apa peduliku? Dia anak yang menyusahkan! Aku melengos.
* * *
Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Bersih kecil belum ternoda…
Hari ini, aku sendirian di rumah. Nayla masih tergolek lemas di rumah sakit. Tidak mungkin kan aku menungguinya selama 24 jam penuh? Hidupku kan bukan hanya dia saja. Aku mulai membereskan rak yang ditumpuki oleh buku-buku akuntansi dan album masa kecilku. Ada fotoku digendong Mama. Mungil dan menggemaskan. Ma, Intan rindu sama Mama… Kubalik lembaran selanjutnya. Di situ ada foto Mama sedang menyuapiku. Juga ada saat ia bermain-main denganku. Aku bisa menemukan wajah Mama yang begitu sabar dan penuh kasih dalam membesarkanku. Lantas, mengapa aku tak bisa menerapkan hal yang sama kepada Nayla? Ah, ini hidupku. Tentu saja berbeda. Lagipula, aku tak menginginkan Nayla muncul di hidupku. Dia hanya mengobrak-abrik kisah hidup dan kisah cintaku.
* * *
Ah, hari ini aku tidak lagi sendirian di rumah. Kebebasan itu hanya kunikmati sekejap mata. Nayla telah kembali sehat seperti sediakala. Ckck, bahkan sekarang ia kembali meracau.
“Bunda, bunda. Besok, di sekolah Nayla ada acara lho. Bunda datang ya? Nayla disuruh nyanyi sama ibu guru. Katanya suara Nayla bagus,” ajaknya padaku.
“Enggak ah, males. Ngapain coba? Mending di rumah nonton tv.”
“Yah, Bunda. Ayo dong, nonton Nayla. Semua teman-teman Nayla ngajak orangtuanya, lho. Jadi, Nayla mau ngajak Bunda juga. Bunda mau ya?”
“Itu kan mereka, bukan aku. Kalau aku nggak bisa, gimana?”
“Sekaliiii aja, bunda. Ya?” pintanya terus memohon.
Huh, anak kecil pengganggu. Padahal besok aku sedang mengambil cuti. Lelah dengan rutinitas sehari-hari. Masakan harus diganggu dengan acaranya tak penting itu? Sekedar mengakhiri pembicaraan, aku mengangguk.
* * *
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku
“Ng, Ma? Intan pengen bicara. Tapi, Mama jangan marah, ya?”
“Mau bicara apa, sayang? Sini, duduk.”
“Intan… Intan… ng…”
“Ada apa?”
“Intan hamil, Ma.”
“Ah? Kamu nggak beneran kan?”
“Ng… Intan nggak bohong, Ma. Reihan yang ngelakuin semuanya sama Intan.”
“Apa? Kamu hamil?” suara yang lebih berat mengagetkan kami berdua. Suara Papa.
“Kenapa kamu baru kasih tahu? Sudah jalan berapa bulan, Tan? Jawab!”
“Ng, 3 bulan, Pa.”
“Memalukan! Sekarang cepat kamu kemasi barang kamu, pergi dari sini!”
“Apa? Pa, ini bukan sepenuhnya salah Intan, Pa. Jangan seperti itu.” bujuk Mama, membelaku.
“Tidak. Ia sudah mencemari nama baik keluarga kita! Sekarang kamu keluar!”
Aku tertunduk, menatap lantai kamar. Mataku merah, mencoba menahan tangis.
“Tidak boleh, kita harusnya menemani Intan, bukan malah memojokkannya seperti ini!”
“Itu salahnya! Dan, kita harus menghukumnya.” Papa bersikeras. Ia memang orang yang tegas dan keras kepala.
“Kalau begitu aku ikut dengan Intan.” Mama berkata kemudian.
Aku terperangah, Mama mulai terseret dalam masalahku, kini.
“Ma… biarkan Intan sendiri yang menanggungnya. Intan yang salah…”
“Tidak, Mama harus tetap ikut dengan Intan. Ibu macam apa yang meninggalkan anaknya sendiri?”
Deg! Ingatan masa laluku berhenti sampai di situ. Aku tertegun. Termasuk golongan ibu macam apa aku? Meninggalkan anakku seorang diri di rumah sakit saat itu. Ya Tuhan. Ternyata aku memang seorang ibu yang jahat.
* * *
“Penampilan selanjutnya, sebuah nyanyian berjudul “Bunda” yang akan dibawakan oleh Putri Nayla.”
Aku melihatnya, berjalan ke atas panggung dengan kaki mungilnya, berdiri di sana memegang mic.
“Lagu ini kunyanyikan untuk Bunda-ku tersayang. Bunda itu orang yang baiiiik sekali. Bunda, dengerin Nayla nyanyi ya?” (Dia nggak mencoba berbohong, kan?)
Piano mulai berdenting pelan mengiringi irama lagu Nayla.
Aku mendengarkan liriknya dengan baik.
Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Bersih kecil belum ternoda
Dahulu penuh kasih (benarkah? Adakah kasih sayang yang ia rasakan dariku?)
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku (dimarahi, dibentak, dipukul… itulah riwayatnya semenjak ia besar di tanganku)
Kata mereka diriku selalu dimanja (aku bahkan tak pernah memanjakannya, malah berusaha membuatnya mandiri. Hidup tanpa bantuanku)
Kata mereka diriku selalu ditimang (selalu? Aku hanya melakukannya saat ia bayi. Itupun dengan unsur keterpaksaan)
Oh, bunda ada dan tiada dirimu ‘kan selalu ada di dalam hatiku…
Ya Tuhan, aku benar-benar ditegur lewat lagu itu.
Selama lima tahun ini, aku belum pernah membuat Nayla bahagia.
Selama lima tahun ini, kuhabiskan ‘tuk bergelut di pekerjaanku sendiri. Tak memedulikannya.
Selama lima tahun ini, aku selalu mengabaikannya.
Selama lima tahun ini, aku senantiasa memarahinya, bahkan mungkin bisa membuat jiwanya tertekan.
Ternyata selama lima tahun ini, aku bukanlah sesosok ibu yang patut dibanggakan.
Aku terlalu egois dengan duniaku sendiri.
Selalu saja ngotot bahwa semua perubahan yang ada di hidupku adalah salahnya.
Karena kehadirannya, karena kelahirannyalah aku terpaksa menjalani hidup seorang diri.
Tanpa Mama dan Papa, tanpa Reihan.
Semua menghilang dari hidupku.
Kepergian Mama karena tidak terbiasa hidup di lingkungan yang cukup sederhana, adalah kehilangan yang paling menyakitkan.
Dan kala itu, aku juga menyalahkan Nayla.
Padahal, semua ini bukanlah salah Nayla sepenuhnya.
Ini salahku, salah Reihan juga.
Andai saja saat itu aku tidak melakukan hal yang bodoh, mungkin aku tak meratapi nasib seperti saat ini.
Toh, nasi sudah menjadi bubur.
Mau tidak mau aku harus merawat Nayla. Seonggok daging yang mewarisi sifatku. (Hereditas :P)
Seharusnya aku membesarkannya dengan kasih sayang.
Sama seperti apa yang telah Mama lakukan terhadapku.
Bukan malah menyalahkannya setiap saat.
Ya Tuhan, maafkan aku.
Seusai menyanyi, Nayla turun dari panggung lalu seketika menghambur dalam pelukanku.
“Nayla sayang sama Bunda,”
“Bunda… juga sa…yang sama Nayla.” ucapku terbata-bata.
Itulah pertamakaliku memanggil diriku sendiri dengan ucapan Bunda. Bunda untuk Nayla.
Saturday, November 19, 2011
Aku dan Debu
Aku jelajah ini kota,
Simpang siur jalannya.
Tampak tangis darah dan daging,
Mengeluh jatuh ke debu.
Aku jelajah gunung dan lembah
Debu ngebul dari kakiku.
Mulut bedil dan mortir,
Rahang meriam, ngebulkan debu,
Balikkan debu pada debu
Debu dan debu.
Aku penjelajah gelap dan caya.
Aku debu,
Seperti tangis darah dan daging,
Seperti debu keluh, keluh kakiku,
Debu takdir, bedil, dan mortir.
Pada akhir jalanku,
Kembali pada debu.
Dari gelap ke caya,
Dimana aku lupakan debu...
Kangen
Kau takkan mengerti segala lukaku
Karena cinta telah sembunyikan pisaunya
Bayangkan wajahmu adalah siksa
Kesepian adalah ketakutan dan kelumpuhan
Engkau telah menjadi racun bagi darahku
Apabila aku dalam kangen dan sepi
Itulah berarti aku tungku tanpa api...
Gadis yang Kau Tinggalkan part II
Membolak-balik halamannya
Seolah tak percaya, bahwa kau tega bertindak seperti ini
Bukankah dahulu sudah kukatakan jangan usik aku lagi?
Tak adakah rasa bersalahmu sudah mengobrak-abrik hidupku?
Jatuh, aku merosot turun saat menerima secarik kertas itu
Badanku lemas seketika, tak berdaya
Nafasku tak teratur
Gemuruh di dadaku tak dapat lagi kutahan-tahan
Akhirnya aku menangis di atasnya
Mengaburkan tinta hitamnya
Bahagiakah kau telah mencampakkan aku?
Puaskah sekarang kau melihatku?
Berkali-kali aku menghapus air mata yang menghiasi pipi
Lalu, mencoba menguatkan jemariku untuk membuka lembaran itu
Dengan tangan yang bergetar, aku membaca kata per kata yang tertera
Ketika kutemukan namamu, ingatanku berputar ke masa itu
Harusnya itu aku!
Harusnya aku menggantikan dirinya yang kini ada di sisi namamu!
Kesedihanku berganti kecewa
Kamu mengingkari janjimu
Dan, gadis menangis tanpa suara. Ungkapan kekecewaan hatinya terhadap pemuda yang selama ini dicintainya. Namun tangisannya tak lama, ia beralih memandang lembaran yang kini tergeletak di lantai. Lantas, meremukkan surat undanganpernikahan yang ia terima. Lalu melemparkannya tepat ke tempat sampah… Usai sudah.
Gadis yang Kau Tinggalkan
Kau hilang, meninggalkan perih
Kau hilang, menyayat hatiku yang tulus mencintaimu
Kau hilang, sesaat setelah kau berkata cinta padaku…
Mengapa kau harus hadir jikalau akhirnya kau menghilang jua?
Mengapa kau harus menyukaiku jikalau kau jugalah yang membuatku sakit?
Mengapa kau harus merebut perhatianku?
Memenangkan hatiku?
Mengapa kau harus ada dalam kisah cintaku?
Kau hilang tanpa alasan
Setelah kau mengalihkan duniaku, kamu menghilang begitu saja
Buat apa???
Apa artinya ini?
Perasaan ini? Cinta ini? Rindu ini?
BUANG SAJA SEMUA!
Namun, tahukah engkau?
Sulit bagiku ‘tuk melupakanmu
Karena, kamu begitu baik padaku
Karena, segala perhatian yang engkau curahkan untukku
Karena, hidupku telah diwarnai olehmu
Haruskah kau memalingkan wajah ketika tatapan mata kita beradu?
Haruskah kau mengambil jalan lain ketika langkah kita bertemu?
Haruskah kau membalikkan badan ketika kita berpapasan?
Haruskah kau berpura-pura tidak mengenalku?
Jahat nian dirimu
Padahal, selama ini aku memegang kata-katamu
Janjimu, sumpahmu
Bahwa kelak kau akan menjadikanku bagian dari hidupmu
Bahwa kelak kita ‘kan melangkah bersama
Dalam satu ikatan suci…
Tapi, nampaknya kau melupakan semua itu
Sepertinya itu hanyalah janji palsumu semata
Toh, kau mulai melupakan diriku saat ini
Entah apa alasannya, aku tak tahu…
Dan kini aku sendiri, menyusun serpihan-serpihan hati yang kau hancurkan
Menatanya satu persatu, memperbaikinya
Karena tanpa kehadiran hati, hidupku terasa mati
Biarlah ia hidup tanpa secuil kenangan akanmu
Jangan coba usik aku lagi!
Friday, October 21, 2011
Ada Apa dengan Hatiku?
Ada apa dengan hatiku?
Saturday, October 15, 2011
Tapi, Walau, Kenapa? Karena, Biar, Dan....
Tapi...
Tuesday, September 13, 2011
Hampa
diam.
Cinta pada pandangan pertama
Bersedih
Tenggelam dalam sepi…
Saturday, September 10, 2011
Hujan
Oleh: Nadia Almira Sagitta
Matahari kian memudar
Sinar kuningnya berganti gelap
Mendung, sesuram hatiku
Kilat menyambar-nyambar menghiasi langit sore itu
Guntur menggelegar, memecah keheningan
Aku memandangi jendela kamar yang basah akan titik air
Keheningan suasana menyergap, membuatku mengingat masa lalu
Dulu, kala hujan mengguyur bumi pertiwi
Kita bermain-main di bawah rinai hujan
Tertawa-tawa, berkejaran satu sama lain
Hawa dingin sedikitpun tak kita hiraukan
Yang penting, senang kita rasakan
Tak dinyana, kini kamu pergi meninggalkanku sendiri
Memaksaku melewati hujan, tanpa dirimu
Hujan tak lagi riang, hujan tak lagi membuatku tersenyum
Kini, hujan hanya menguak kenangan lama di hatiku
Kenangan antara aku dan kamu…
Wednesday, August 3, 2011
Cintaku Kepada Pelayan Kafe
Kulangkahkan kakiku menuju satu coffee shop terdekat dari kampus. Sore itu, keadaan sangat lengang. Yah, baguslah, dengan demikian aku bisa duduk tenang menikmati coffee latte pesananku. Kuangkat cangkir kopi yang masih panas, persis di depan hidungku, mencium aromanya sebentar, lalu menghirupnya pelan. Nikmat sekali, paduan kehangatan kopi dengan dinginnya hawa di luar sana. Sambil meminum kopi, aku membolak-balik majalah Kawanku terbaru yang kubawa sedari tadi. Bosan membaca, pandangan kusapukan ke tiap sudut kedai kopi ini. Tiba-tiba, pandanganku terhenti pada satu titik. Seseorang. Lelaki. Membawa notes kecil di tangannya. Dengan apron berwarna coklat susu. Sebenarnya biasa saja, ia hanya seorang pelayan di coffee shop ini. Entah apa yang membuatku tertarik padanya. Mungkin karena aku tak pernah melihatnya di sekitar sini. Sepertinya ia pekerja baru. Pandanganku tak lepas daripadanya, kutopang daguku di atas tangan, melihatnya dengan leluasa. Namun, sepertinya ia merasa ada yang telah memperhatikannya sedari tadi. Dia menolehkan pandangan, membalas tatapanku. Salah tingkah, aku memalingkan wajahku ke arah jendela. Memandang titik-titik air yang tertinggal di sana.
* * *
Lagi, siang ini aku datang ke coffee shop itu. Memesan coffee latte langgananku. Aku bermaksud mengerjakan tugas kuliahku di sini. Suasananya tenang, tak seperti di kosan, ribut. Hmm, well… Di mana pulpenku? Ini dia! Aih aih, pulpennya bocor! Tinta hitam itu -tanpa rasa perike’tinta’an- mengotori jemariku. Aku menuju toilet hendak membasuh tanganku, dan tiba-tiba saja aku melihat pemuda itu lagi. Untuk yang kedua kali. Hanya lintas lalu, namun sanggup membuat hatiku berdebar tidak karuan. Lengan bajunya yang digulung, tubuh tegapnya, wajahnya yang masih basah terkena air, menawan. BRUKK!
“Hati-hati mbak!” tegur seorang ibu berbadan buntal, (ups!)
“Ah yaa? Maaf bu, maaf… Saya tidak sengaja.”
“Makanya, kalau jalan lihat-lihat.” nasihatnya. Cukup menyinggung. Ah, semua ini gara-gara pemuda itu….
Cepat-cepat aku membereskan bukuku, tiba-tiba saja ada kabar Adira teman kosanku kecelakaan. Segera kupanggil taksi dan melesat ke rumah sakit tempat Adira dirawat. Hmm, UGD.
“Hai, Dir! Eh, kamu nggak papa kan?”
“Ah, enggak. Luka ringan aja.” jawabnya menunjukkan memar di siku, lutut, juga betisnya.
“Yah, kok bisa jatuh sih?”
“Tadi, ada yang berusaha merampas tasku. Ya, aku pertahanin tasku dong. Nggak nyangka malah jatuh.”
“Kamu juga sih. Tas doang padahal. Kenapa nggak direlain aja?”
“Mana bisa, Yas. Tas itu kan hadiah ulangtahunku dari Kevin. Mana mungkin aku ngerelain dirampas gitu aja?”
“Ooo, ada kenangannya toh.. Haha, ya udah. Tapi udah nggak papa kan? Pulang yuk, ntar aku yang bawa motor.”
Setelah mengurus administrasi, kami berdua keluar dari ruang UGD. Dan anehnya, aku bertemu pemuda yang bekerja di coffee shop itu! Dia ngapain ya, di sini? Lagi-lagi, aku diam terpaku menatapnya, mengikuti langkahnya yang ternyata menuju ruang ICU. Waaa~ tampan beneeer.
“Woii Yas! Yasmin! Ngeliatin siapa sih?” Adira menegurku sambil mengibaskan tangannya tepat di depan wajahku.
“Ah, enggak kok. Pulang yuk.” jawabku tersipu malu. Sumpah, pemuda tadi… Benar-benar mengalihkan duniaku. (now playing: Wajahmu Mengalihkan Duniaku – Afgan)
Sesampainya di kosan…
“Dir, kamu percaya enggak sama cinta pada pandangan pertama?” tanyaku.
“Love at the first sight? Ah enggak tuh. Mana ada cinta begituan.” jawabnya enteng.
“Ah, tapi… ng, udahlah.”Aku mengurungkan niatku untuk membahasnya lebih lanjut. Aku juga masih ragu akan perasaanku.
“Eh Yas, nyari makanan buat ntar malam dong, kan giliranku udah kemaren.” kata Adira mengingatkan.
“Oh iya, iya. Tunggu ya, aku mandi dulu.”
Seusai mandi, aku menyambar dompetku dan melanglang buana bersama Mio-nya Adira ke sekitaran wilayah kos. Nah, itu ada warung, aku memesan 2 bungkus nasi goreng. Yah, nasib dah jadi anak kos. Makanannya gini-gini aja. Tiba-tiba mataku menangkap sesosok bayangan. Seorang pemuda. Dengan tubuh tinggi tegap, wajah yang kukenali dengan baik dalam memori otakku, berdiri di seberang jalan. Menuju ke sini, ke warung ini. Duh, aku harus gimana nih? Aku rapi enggak ya? Enggak berantakan, kan? Ah, sialan, deg-degan atuh ini... Dia makin mendekat, hingga akhirnya tegak persis di samping mas penjual, yaitu di depanku. Hendak memesan apa ya dia? Kasihan, dari tadi dia nggak direspon sama penjualnya. Sambil menunggu pesananku jadi, aku beralih duduk di bangku dan memandang ke arah lain, yang berlawanan dengan pemuda itu. Nggak sanggup ah kalau harus memandangnya lagi. Andai aku es krim, bisa-bisa aku lumer! Hatiku pun dag dig dug tidak karuan. Pandangannya itu loh, sumpah, menghanyutkan. Lebay ya? Maaf deh.
“Mbak, ini pesenennya. 2 bungkus nasi goreng kan?” ujar si penjual.
“Oh iya, berapa ya Mas?”
“Kayak biasa aja, Mbak. Rp 15.000,”
Aku mengulurkan 3 lembar limaribuan ke tangan si penjual. Pada saat yang sama, tak sengaja, aku melihat pemuda itu melemparkan senyuman kepadaku. Refleks, kutolehkan wajahku ke samping, buru-buru aku menggantungkan bungkusan yang berisi nasi goreng itu di stang motor, menyalakan motor, dan meluncur pergi dari tempat itu. Sumpah, salting!
“Assalamualaikum, Dir. Adira! Tuh, makanannya ada di atas meja.” sahutku dari ujung pintu kamarnya.
“Oke deh, thanks ya!”
Aku berjalan perlahan ke arah kamar atau biasa kusebut rumah kecilku yang bersebelahan dengan kamar Adira. Kulempar tasku di sudut kamar, dan aku merebahkan diriku di atas kasur yang tak bisa kubilang empuk itu. Hari yang melelahkan, penuh oleh bayangan pemuda itu. Apa ini sebuah kebetulan ataukah aku dan dia… berjodoh? 3 kali sudah aku bertemu dengannya hari ini. Dan sudah 3 kali pula aku terpesona olehnya. Aih aih… Sekedar mengetahui namanya pun tidak. Berkomunikasi apalagi. Tapi dia mampu menggetarkan hatiku hanya dengan tatapan matanya yang tajam juga senyuman hangatnya. *Tok..Tok..Tok..*
“Yasmin, aku makan di kamarmu yah? Boleh masuk nggak?” suara Adira.
“Iya, masuk aja,” ucapku malas.
“Hai, Yas. Kamu belum makan? Nggak laper?” tanyanya.
“Ng? Belum terlalu lapar kok,” jawabku sembari melamun, tidak konsentrasi.
“Eh? Kayaknya dari tadi kamu melamun terus deh. Mikirin siapa sih?”
“Hhh, nggak kok. Nggak usah dipikirin…” ujarku, melengos.
“Ayolah, cerita-cerita dong. Ada masalah? Atau… kamu lagi jatuh cinta ya? Cieee cieee.” Ia mulai menggodaku.
“Jatuh cinta? Yeee, sama siapa coba? Nggak tuh, ah, sok tahu kamu.” elakku. Aku mengubah posisi dudukku yang semula selonjoran kaki menjadi duduk bersila, memberikan tempat duduk yang lebih luas untuk Adira.
“Hehe, aku menebak saja sih, habisnya kamu ngelamun terus seharian. Biasa itu kan tanda-tanda orang jatuh cinta. Ngelamunin inceran melulu.” ujarnya sambil tertawa. Lanjutnya, “Udah deh, daripada ngobrol nggak jelas gini, mending kamu cepetan ambil bungkusan makananmu terus makan sama aku di sini.”
Aku menuruti apa katanya, mengisi perut yang telah berbunyi sedari tadi. Keroncongan.
Senja berganti malam, matahari menenggelamkan dirinya, membiarkan bulan bertengger di singgasana langit. Adira sudah kembali ke kamarnya sejak tadi. Aku pun terduduk sendiri di kamar. Kulirik buku kuliahku kemudian teringat akan banyaknya tugas yang diberikan dosen dan harus dikumpulkan seminggu lagi. Namun hasrat untuk mencicil tugas itu belum juga datang padaku. Mataku beralih pada tumpukan kertas HVS dan pensil 2B yang tak jauh terletak daripadanya. Kertas dan pensil, identik dengan menggambar. Sudah lama aku tak mengguratkan sesuatu di sana. Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju meja belajarku tak lupa kubawa secarik kertas. Beberapa saat, aku menulis-nulis sesuatu yang tidak jelas. Meremas kertas itu lalu membuangnya, dan tanganku meraih secarik kertas lagi, tanpa sadar aku mulai membuat satu sketsa. Sketsa wajah. Laki-laki. Ah, pemuda itu lagi. Dia, siapa sih? Namanya? Tinggal di mana? Apa di dekat kosanku? Bagaimana sifatnya? Potongan-potongan pertanyaan itu bermunculan satu per satu. Aku dibuatnya penasaran.
Sudah seminggu aku disibukkan oleh kuliah dan tugas yang bertumpuk. Untuk sejenak, bayangan pemuda itu sirna dari hidupku. Well, hidupku tidak hanya mengorbit pada pemuda itu, kan?
“Yasmin! Tolong dong pegangin ini bentar!” pinta Tunisia, teman sekampusku. Ia menyerahkan setumpuk kertas dan buku padaku. “Aku mau mengikat tali sepatu soalnya. Tolong ya.” Ia merunduk, membetulkan simpul sepatunya yang terlepas.
“Eh, kayaknya kamu buru-buru banget deh ya? Mau kemana Nis?”
“Makasih ya udah dibantu, iya nih aku mau kerja part-time di Coffee Shop seberang kampus kita itu lho.” jawabnya. Mendengar kata ‘Coffee Shop’ aku tertarik. Dan aku mulai melontarkan pertanyaan yang lain,
“Nis, kamu sudah lama kerja di sana?”
“Mmm, baru-baru saja sih, sekitar 2 minggu yang lalu lah, pegawai baru nih.” Ah, ternyata Tunisia belum lama menjadi pegawai di sana, tapi apakah mungkin ia mengenal pemuda yang kumaksudkan?
“Duluan ya, Yas! Bye~ see ya!” ia setengah berlari meninggalkanku. Aku termangu, bingung hendak ke mana. Akhirnya kuputuskan untuk mengunjungi coffee shop itu lagi. Aku berjalan keluar dari kampus, menyeberangi jalan, tak sampai 50 meter aku sudah tegak di hadapan tempat ini. Kudorong pintunya dan senyum ramah para pegawai seketika menyambutku. Selain interiornya yang menampakkan kesan calm dan juga nyaman, pilihan kopi yang beragam, sekarang aku mempunyai alasan lain yang membuatku tidak kunjung bosan mendatangi tempat itu. Ya, karena kehadiran pemuda itu. Aku ingin mengenalnya lebih jauh. Dan, ternyata pegawai kasir siang itu yang melayaniku adalah Tunisia.
“Hei, ketemu lagi Nis! Eh, kok aku nggak pernah ketemu kamu ya 2 minggu yang lalu? Padahal aku sering datang ke sini lho.” sapaku pertama kali.
“Ah iya, aku sering kebagian shift sore. Jadi, nggak ketemu deh kita di siang terik begini. Mau pesan apa?” ujarnya sambil menyunggingkan senyum. Wah, dia punya gesture yang cukup bagus untuk jadi kasir. Ramah dan murah senyum.
“Iced Americano satu. Sama orange marmalade cake-nya ya.”
“Oke, semuanya jadi Rp 38.000”
Aku membalas senyumnya, dan kubuka zipper dompetku. Mengangsurkan lembaran uang kepada Tunisia dan beranjak menuju meja yang bersebelahan dengan jendela. Minuman yang kupesan belum kusentuh sedikitpun. Kulayangkan pandangan ke setiap sudut kafe ini. Batang hidung yang kutunggu belum juga nampak. Hingga sudah 2 gelas kopi kuhabiskan, sosoknya belum juga muncul. Kecewa, aku meninggalkan kafe itu dengan tangan hampa. Tanpa berhasil membawa satu raut mukanya dalam benakku hari itu.
“Tunisia, ngg… Kamu kenal dia nggak?” tanyaku sambil menyodorkan sketsa wajah pemuda tersebut suatu hari. Tunisia mengerutkan kening, mencoba menganalisa gambaran mengenainya. Namun, sekejap ia menggeleng. “Maaf, aku tidak mengenalnya, Yas. Memangnya kamu ketemu dia di mana?” tanyanya. Seketika, mengalirlah kisah mengenainya. Awalku bertemu, kebetulan-kebetulan yang terjadi, hingga pemuda itu merebut hatiku dan memenangkannya. Tunisia terdiam sebentar, dan mengambil kesimpulan, “Jadi, kamu jatuh cinta padanya pada pandangan pertama? Ya ampun, Yas… Masakan kamu jatuh cinta pada pemuda yang nggak jelas begitu? Lagi katamu, ia partner kerjaku? Waiter ya? Ya sudah deh, nanti aku coba cari info tentang dia ke teman-temanku ya. Aku pulang dulu.” pamitnya, berjalan memunggungiku. Seolah mendapatkan titik terang, aku tersenyum lebar. “Makasih ya, Nis! Kutunggu infonya!” sahutku dari kejauhan. Sebentar lagi, akan kukenali siapa dirimu wahai pemuda! Aku tak sanggup menahan gelegak gembira yang bergelora di hatiku, setidaknya aku tak akan mati penasaran karenanya, betul?
* * *
“Yas! Yaaas! Yasmiin!” panggil Tunisia tergesa.
Aku menghentikan langkahku kemudian berbalik menatapnya, “Ada apa?”
“Aku sudah tahu, siapa dia!” ucapnya begitu meyakinkan.
“Haaah? Siapa? Siapa?”
“Nih, lihat.” katanya memberiku sebuah buku album bersampul cokelat. Terlihatlah foto-foto karyawan Coffee Shop “Latte” dengan berbagai macam gaya. Ada yang sedang melayani pelanggan, ada juga saat mereka curi-curi waktu berfoto tanpa ketahuan atasan mereka. Haha, tidak kusangka, juga ada foto diriku sedang menyeruput secangkir Mocchacino. Sampailah di halaman ketiga terakhir. Terpampanglah foto pemuda itu berdiri gagah, melipat kedua tangannya, dan melontarkan senyum. Sialan, senyum menghanyutkannya itu kembali meliputi batinku. Kubuka halaman selanjutnya, Tunisia menungguku. Ada beberapa fotonya yang dilekatkan di album itu. Ada satu tulisan di sana,
*In Memoriam, pegawai favorit kafe ini, Rendra Wicaksono Saputra. Semoga kamu tenang di alam sana…* Dan di halaman paling akhir, ada foto kuburan Rendra bertabur bunga, dikelilingi oleh rekan-rekan kerjanya.
Apa??? Dia… udah nggak ada? Kutatap wajah Tunisia, meminta penjelasan.
“Dia udah meninggal Yas. Aku baru tahu dari bosku kemarin sore. Katanya, tertimpa kecelakaan motor yang lumayan parah. Motornya aja sampe hancur gitu. Kejadiannya, sekitar satu setengah tahun lalu. Dia…”
Tak kudengarkan ocehan Tunisia selanjutnya, tubuhku lemas tak berdaya seketika. Itulah mengapa alasannya aku menangkap bayangan dirinya di rumah sakit. Itulah mengapa dia tak dilayani dengan segera oleh penjual nasi goreng. Karena dia memang tidak ada. Hanya sekelebat bayangan tanpa nyawa. Jadi… Selama ini aku menyukai sesosok hantu? Ya ampun. Brukk! Tubuhku jatuh pingsan. “Lho? Yasmin? Yas!” jerit Tunisia kaget.
Maaf
Oleh: Nadia Almira Sagitta
Ada seorang gadis kecil terduduk di pojok kamar.
Ia sedang bersedih, wajahnya muram, kepalanya ditundukkan sedari tadi.
Tangannya yang kurus memeluk kedua lututnya, membenamkan wajahnya di sana.
Bulir-bulir air mata mengalir, membasahi kedua pipinya…
Isakan tangis pun terdengar, menggema di kamar kosong itu.
Sedapat mungkin ia mengecilkan suaranya, tapi tak dapat ia lakukan
Terlalu sedih, terlalu berat, terlalu sakit untuk ditahan-tahan
Sedari tadi bibirnya bergetar meluncurkan kata “maaf”
Maaf…Maaf… Maaf…Maaf…
Ditujukan kepada seseorang yang entah masih mengingatnya ataukah tidak
Tapi sungguh, ia benar-benar meminta maaf
Meminta maaf atas perlakuannya terhadap ‘seseorang’
Meminta maaf atas sikapnya selama ini
Meminta maaf telah membuat ‘seseorang’ itu bersedih
Meminta maaf pabila ia telah menyakiti hati ‘seseorang’
Meminta maaf karena telah mengecewakan hati ‘seseorang’ itu
Tak habisnya kata maaf itu mengalir dari mulutnya…
Sungguh, hal ini sangat mengganggu hatinya
Hingga hanya kata maaf yang dapat ia ucapkan sambil menangis.
Semakin lama, mata gadis itu makin basah oleh air mata
Diusapnya beberapa kali, tak juga menghentikan isak tangisnya
Hatinya berat dan sakit, ada sesuatu yang meresahkan hatinya
Yang pada akhirnya membuatnya terus mengeluarkan air mata, menandakan kesedihannya
Ingatannya melayang ke masa lampau, kejadian-kejadian indah itu, saat ia bimbang dilema
Dirangkaikan satu persatu, dihubungkan, hingga akhirnya tersambung dengan kejadian yang ia alami sekarang ini.
Kejadian yang sejak tadi, membuatnya muram.
Ia ingin menyesal tapi tak bisa.
Ia telah memutuskan suatu hal…
Dan ia harus konsisten dengan keputusannya.
Terlalu terlambat untuk memutar dan mengulangi semuanya.
Apalagi untuk menyesalinya.
Menyesal itu tiada guna lagi untuk sekarang ini.
Apa daya, semua telah terjadi.
Nasi sudah menjadi bubur, pikirnya.
Mengingat semua itu, tangisannya kembali membuncah…
Bibirnya kembali mengurai kata “maaf”
Hanya kata maaf, tangisan, dan kesendirian yang menemaninya malam itu.
-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.
Aku hanya memandangi gadis itu dari balik pintu
Aku paham dengan keadaannya.
Ia tersudut antara dua pilihan yang sulit
Menyangkut perasaan dan hati kecilnya.
Berlawanan arah…
Aku sempat melihatnya bimbang akhir-akhir ini.
Ia lebih sering menyendiri, berdialog bersama tuhannya
Memanjatkan doa, meminta jalan keluar…
Setiap hari, setiap jam, setiap menit.
Tiap kali aku melihatnya berdoa, setiap kali itu juga tangisannya meleleh…
Aku tahu kesedihan sedang membelenggunya, kesedihan yang begitu dalam.
Yang tiada dimengerti oleh siapapun, terkecuali dirinya sendiri.
Hanya dia yang mengerti, bahkan mungkin ‘seseorang’ yang secara tidak langsung membuatnya sedih pun, tak akan mengerti…
Memang, hanya dia yang mengerti
Memang, dia sendiri yang membuat dirinya sedih
Memang, dia sendiri yang membuatnya dirinya berkesusahan hati
Memang, dialah yang mencari gara-gara
Namun, aku sendiri tak bisa menyalahkan dirinya atas kesedihan yang dia buat sendiri
Aku paham, dia mempunyai alasan tersendiri dibalik keputusannya
Aku yakin, apapun keputusannya, telah ia pikir dengan matang.
Dan aku harap, jalan apapun yang ia pilih, itulah yang terbaik untuknya.
Semoga.
Cerita Pendek (Benar-benar pendek)
Malam itu, aku diteleponnya. Tumben.