"Jangan bohongi perasaanmu. Akuilah apa adanya."
"Aku tidak pernah ingin membohongi perasaanku. Orang lainlah yang membuatku berpura-pura. Gara-gara ada aturan, ada tata krama, ada tatanan sosial, aku tidak bisa bebas menjadi diri sendiri. Ketika aku menunjukkan diriku yang sebenarnya, aku selalu saja tampak salah. Padahal, inilah aku apa adanya."
"Nah. Saya juga tidak suka itu."
"Ya. Hahaha kita, sih, yang salah karena mengutamakan rasa daripada akal."
"Akan tetapi, saya akan selalu ada di sampingmu, mendukung apa pun keputusan yang kau buat."
"Dan jadi kawan yang menghibur jikalau akhirnya aku menyesal dan nangis?"
"Hahaha, ya."
--
Tatkala kita berbuat salah, kita tak ingin dihakimi apalagi dipaksa. Terkadang, keluh kesah kita cukup didengarkan. Hati kita ingin dibuat lega, bukan dibuat takut karena dosa. Kawanilah ia, sahabatmu, yang mungkin saat ini berada di titik terendahnya.
Tidak pernah kita sempurna seutuhnya, kau tahu? Jangan menambah beban dengan mengungkit kesempurnaan yang dulunya ia miliki. Kau sendiri percaya kehidupan itu berputar layaknya roda, bagaimana mungkin kau berekspektasi bahwa dia 'kan selalu mengawang di atas? Bahwa dia dengan mudahnya 'kan kembali menjadi dirinya seperti sedia kala? Kau sendiri percaya ada proses yang mesti dijalani tiap manusia dan rentang waktu penyelesaiannya pun berbeda-beda. Lantas, mengapa dia kau anggap perkecualian?
Maka rengkuhlah ia kembali. Dengan senyum, tanpa penghakiman. Karena ia yang kabarnya sedang mencecap hidup hanya butuh engkau, yang berjanji tidak akan meninggalkannya dalam sepi dan sendirinya.
Cheers and luv,
Nadia Almira Sagitta
No comments:
Post a Comment