Saturday, April 16, 2016

Kesehatan itu ekslusif, mahal

Pagi tadi bertemu teman-teman skolioser. Ada seseorang yang berceletuk, "Eh, tahu spinecor, nggak?"
"Tahulaaaah, soft brace, kan?"
"Iya. Ada tuh di Bandung dengan harga 2,5 jutaan."
"Hah, masa? Setahuku hanya dijual di Jakarta. Harganya pun 30 jutaan. Kok bisa ini cuma segitu?"
"Nggak tahu juga, sih, barangkali karena buatan Indonesia? Bahannya juga mungkin berbeda. Nah, tetapi mereka tetap mengukur lengkung kemiringan kita, kok."

Brace? Kamu mau pakai, Nad?

Sebenarnya, aku mulai was-was dengan jadwal operasi. Tahu-tahu ingin lekas bertemu dr. Luthfi Gatam, memastikan soal pemasangan brace, rontgen ulang--karena yang kemarin salah (bayangkan, satu juta dan salah!)--konsultasi, dan segera mendaftar operasi di Fatmawati atau RSCM. Yang kudengar saat kopdar tadi, untuk bertemu dr. Luthfi saja bisa sampai menunggu tiga bulan. Ngantri operasi bisa sampai setahun kalau BPJS. Like...oh, okay. Jika memang harus menunggu setahun, akan kutangguhkan itu semua dan fokus S-2 saja. I won't wait that long. No. Skoliosis tidak boleh mengacaukan target waktuku.

Sembari menunggu, aku mau sekali pakai soft brace. Soalnya, brace itu fleksibel, mau kubawa ke luar negeri juga pasti bisa. Sayangnya, yang bikin aku meleleh, ya harganya. Tiga puluh juta. Bahkan jauh lebih mahal daripada harga ngontrak rumah setahun! Terang saja aku nggak enak mintanya.

Di pertemuan tadi, aku juga kenalan sama skolioser yang sudah operasi. Dia operasi di RSPI. Dia cerita biayanya sekitar seratusan juta, ya pasti, itu kan rumah sakit swasta. Terus, ada juga satu skolioser yang cerita dia gonta-ganti dokter, udah ke dr. Luthfi juga. Omaigat, berapa banyak biaya habis untuk konsultasi? Dia pun bercerita bahwa ia bertemu seorang bapak yang menemani anaknya konsul. Kata bapak itu, "Perkiraan biaya operasi anak saya sekitar seratus tujuh puluh juta."
"Hah, kok mahal sekali, Pak?"
"Iya, soalnya pen yang saya pilih bikinan negara X. Karena pen itu akan dipasang di tubuh anak saya seumur hidup, saya menginginkan yang terbaik."
Kemudian, skolioser lain tiba-tiba berceletuk, "Kalau BPJS nggak bisa milih pen kan, ya? Bisa jadi nggak, sih, pen yang nggak gitu bagus yang dipilihkan untuk pasien?" Buru-buru kutengahi, "Kurang tahu soal pen ya, Bu, tetapi setahu saya dokter yang mengoperasi, khususnya di RSCM, tetap bersikap profesional. Sama saja dengan tanpa BPJS."

Daaaaaaaan, di sinilah aku tertegun sendiri. Tahu-tahu sebal sama uang. Tahu-tahu kesal dengan kalimat, "Kesehatan itu ekslusif. Mahal." Soalnya, aku memang baru menyadari kalimat ini benar adanya. Coba nggak perlu BPJS, pasti bisa segera daftar operasi. Coba uang dapat dipetik di mana saja, pastilah bisa konsultasi berulang kali jika mau. Coba uang berguguran dari pohon, pasti bisa ikut semua treatment tanpa ragu. Kalau sudah berpikir seperti ini, ujung-ujungnya cuma bisa nangis.

Sko, kenapa perawatanmu semahal membeli mobil baru?

Kak Dida, kalau kakak nanya lagi, "Apa yang membuat kamu terpuruk hingga nyaris menangis sebagai seorang skolioser?" Jawabannya ya ini. Kenyataan pahit, namun harus ditelan, ini.

So sorry for being so sensitive, but yeah...this thing bothers me. I can't even sleep.

No comments:

Post a Comment