Aku ingat ketika kita bertukar cerita mengenai pemuda idaman kita masing-masing. Kau dengan hebohnya bercerita mengenai "perkenalan" yang sedang kau jalani. Aku lalu memberimu saran-saran yang belum pernah kuterapkan sendiri. Aku sekadar membacanya di buku-buku pernikahan yang duluan kulahap daripadamu. Aku memberimu nasihat yang kudapatkan di kajan-kajian pernikahan. Kita berdua juga pernah menghadiri kajian pernikahan bersama, bukan? Iya, aku ingat masa-masa itu. Perlahan, aku mulai menganggapmu sahabat baruku.
Kini, masihkah kau di sana, berdiri tegak menjadi sahabatku?
Aku juga ingat ketika kau memutuskan untuk memasuki ranah yang benar-benar baru. Kau menggeluti dunia itu dengan ketekunan yang luar biasa. Sekali waktu, kutemukan sinar keletihan yang kau pancarkan, tetapi kau mengaku baik-baik saja. Sebagai sahabat, aku mendukung segala kegiatanmu walaupun hal itu membuatku sedikit kehilanganmu.
Puncaknya, aku dan kau meninggalkan satu organisasi yang sempat membuat kita dekat. Kau tetap bersibuk-sibuk ria dengan organisasi barumu dan aku pun begitu. Kau tenggelam dengan kesibukan yang mencekik, aku pun juga. Kau temukan kawan-kawan baru, aku pun sama. Barulah aku tersadar, kau semakin jauh dari jangkauanku. Aku tak lagi menjadi pelabuhan pertama kisah-kisahmu. Dugaanku, kau menemukan teman cerita yang jauh lebih asyik daripadaku. Entahlah, aku hanya bisa diam tergugu melihat kejadian yang satu per satu berlalu.
Aku melihatmu bertransformasi menjadi seseorang yang berbeda. Bukan lagi sebagai sosok yang kukenali. Asing, betapa asingnya! Tak ada yang bisa kulakukan selain menjalani keterasingan ini. Tak ada hal yang bisa kuubah. Bila memang begini lika-liku perkawanan kita, biarkanlah berjalan begitu saja. Akan tetapi, ada satu yang harus kau tahu, aku diam-diam kehilanganmu. Tanpa tahu apakah kau juga kehilanganku atau tidak.
Perkenalan itu pun terhenti. Aku terhenyak, lebih-lebih kau. Aku jadi sungkan bercerita perkembangan cerita cintaku. Ini bukan saat yang tepat untuk berbagi kebahagiaan. Aku seharusnya simpati, bukan begitu? Kau semakin menarik diri dari keramaian. Barangkali itu dampak dari hati yang luka. Seiring dengan kabar buruk ini, aku tahu bahwa aku kehilangan satu lagi alasan untuk bercengkrama denganmu.
Perasaan terkadang tak bisa ditahan-tahan. Aku rindu bertukar kisah cinta denganmu. Lantas, segera kuungkapkan segala cerita yang terpendam padamu. Responsmu sungguh jauh dari yang kuharapkan. Dingin sekali. Kau sarankan aku untuk bersikap realistis dan tidak mudah tenggelam dalam kembang bunga palsu. Aku...terdiam mendengar nasihatmu. Yah, mungkin ini masih ada hubungannya dengan patah hatimu.
Beberapa kali aku mencoba bercerita dan tak terhitung berapa kali aku kau diamkan. Aku mulai merasa cerita remeh-temeh semacam ini tak lagi masuk dalam prioritas mata dan telingamu. Kau baca curhatanku, tetapi kau diamkan. Kau dengarkan ceritaku sepintas lalu, kemudian kau diamkan. Aku mulai merasa tak ada gunanya bercerita hal-hal semacam ini lagi padamu. Aku menyerah.
Akan tetapi, aku tak beranjak pergi. Aku masih siap sedia mendengarkan ceritamu kapan pun kau butuh. Karena aku tahu, kau tak benar-benar bermaksud meninggalkanku. Kau hanya...sibuk. Itu saja. Rutinitas memang musuh bagi dunia perkawanan. Jadi, kapan pun kau merasa perlu, datanglah. Akan kusambut kau dengan segala nostalgia yang kita (pernah) punya.
Cheers,
Nadia Almira Sagitta
No comments:
Post a Comment