Menjadi ibu pekerja atau ibu rumah tangga? Working mom or full time mother? Baru saja saya membaca artikel yang berseliweran di Facebook. Salah satu artikel berasal dari situs agama dengan judul yang agak menyudutkan ibu pekerja. Artikelnya cukup panas, terlebih lagi komentar pembacanya. Ada yang membawa-bawa dalil agama, ada yang membawa-bawa realita hidup, ada pula yang membawa-bawa gengsi akademis.
Hm, apakah aku terlalu dini mengamati perdebatan WM-FTM yang tiada akhir ini? Menurutku, sih, tidak apalagi aku sudah memproyeksikan diriku sebagai WM di masa depan. Justru dengan mengamati perkembangan isu ini, aku bisa mendapatkan pertimbangan sana-sini.
Berdasarkan hasil pembacaanku terhadap beberapa blog pribadi yang membahas FTM dan WM, keputusan tersebut terletak di tangan sang ibu. Hidup kita selalu dikelilingi oleh pilihan-pilihan, salah satunya adalah pilihan untuk berkarir atau tidak. FTM dan WM sama-sama bisa mengurus dan anak suami dengan cara yang berbeda. Jangan sudutkan pilihan wanita yang ingin meniti karir. Jangan memandang rendah kuantitas kebersamaan keluarga yang dimiliki oleh WM, yang tentu saja berbeda jauh dengan para FTM. Ini bukan berarti WM itu tidak becus mengurus keluarga. Sama sekali tidak! Sama halnya dengan para FTM. Bukan berarti mereka kuper dan tidak memiliki wawasan yang sama dengan para ibu yang berinteraksi dengan dunia luar. Ini hanya masalah pilihan berikut konsekuensinya. Percayalah, setiap ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk keluarganya. Ibu yang cerdas pasti bisa membagi prioritas waktunya: kapan untuk dirinya, kapan untuk anaknya, kapan untuk suaminya, dan kapan untuk pekerjaannya.
Aku sendiri merupakan cetakan seorang working mom yang luar biasa. Ibuku adalah seorang pekerja yang jam kerjanya tinggi, terkadang malah melebihi ayahku. Tak jarang ibuku lembur di kantor yang pada akhirnya membuat aku dan adikku bertanya-tanya kapan dirinya bisa pulang ke rumah. Sehari-hari, aku dan adikku dititipkan kepada pembantu--yang memang hanya lulusan SD (aku tak menafikan hal itu). Akan tetapi, sebelum berangkat kantor, ibuku selalu menitipkan pesan mengenai apa yang boleh kami lakukan dan apa yang tidak kepada penjaga kami. Di saat istirahat makan siang, ibuku selalu menelepon rumah dan menanyakan kabar kami. Terkadang, beliau bertanya, "Mau dibawakan apa hari ini?" Lalu dari mulut kami meluncurlah nama barang-barang atau makanan yang diidamkan hari itu. Ketika beliau pulang ke rumah, terlihat jelas raut wajahnya yang lelah. Tak jarang pula beliau marah-marah karena kesalahan kecil yang kami buat. Akan tetapi, tak apa. Aku tahu beliau lelah di kantor. Marah-marahnya itu membuat kami lebih disiplin.
Aku memang pernah merindukan sosok ibu yang sepenuhnya berada di rumah. Aku ingat, dulu aku sangat bahagia ketika ibuku mengambil cuti kantor karena sakit atau sekadar ingin menemani kami bermain di rumah saja. Akan tetapi, aku juga tahu hal itu tak mungkin terus-terusan terjadi. Dirinya yang aktif di luar rumah membuat kami tumbuh sebagai sosok yang lebih mandiri. Aku pun merasa cukup dengan kehadirannya pada saat pagi, petang, malam, dan sepenuhnya di akhir pekan. Kurasa jika aku menjadi WM kelak, akhir pekan juga akan kudedikasikan untuk keluarga. Sekarang ibuku menjadi seorang FTM. Ia mengurusi ayah, adikku, dan aku (walaupun jarak jauh) dengan sangat baik. Ia kembali memasak, suatu kegiatan yang jarang dilakukannya selama ia menjadi WM. Salah satu hal yang kusadari dan kusyukuri saat ibuku menjadi FTM: aku baru tahu masakannya itu enak sekali. Ibuku adalah contoh ibu pekerja berikut ibu rumah tangga yang luar biasa. ♡
Intinya, hargailah keputusan yang telah disepakati oleh setiap keluarga. Keluargamu bukanlah keluarga mereka. Ada sistem yang berbeda, ada kebahagiaan yang berbeda. Biarkanlah kita semua hidup dengan cara masing-masing yang tentunya unik dan tak biasa.
Cheers,
Nadia Almira Sagitta
No comments:
Post a Comment