Tuesday, October 13, 2015

Air mata

Aku bukanlah gadis remaja yang mudah menangis. Dulu, aku mengubah semua kesedihan hati menjadi kekesalan. Uring-uringan. Enggan sekali menitikkan air mata. Bagiku, air mata hanya diperuntukkan bagi orang-orang cengeng sementara aku tidaklah cengeng. Begitulah pikirku dahulu. Oh ya, air mata juga hanya dikeluarkan ketika ada yang meninggal, itu saja. Tatkala aku melihat orang-orang menangis karena cinta, aku cuma bisa tertawa dalam hati. Mengapa berlebihan sekali? Ketika aku patah hati saat SMP, aku hanya linglung beberapa waktu dan bertransformasi menjadi perempuan yang lebih kuat. Benar, kan, aku tidak cengeng?

Selang beberapa waktu berlalu, pradugaku ternyata salah tentang kecengengan diri. Dulu mudah saja berkata seperti itu ketika belum jatuh cinta benar-benar. Dulu masih cinta iseng ala-ala remaja tanggung. Memasuki dunia SMA, memasuki dunia baru penuh cinta yang mekar. Aku jatuh cinta tiga kali. Aku menangis empat kali. Bahkan, cinta terakhir kala SMA masih menyisakan derita hingga hari ini. Air mataku berebutan mengaliri pipi seperti tsunami. Tidak berhenti-berhenti. Ditinggal dan meninggalkan ternyata rasanya sakit sekali. Ditinggal dan meninggalkan ternyata membuat hari dan hatimu kopong. Bagaikan mayat hidup aku menjalani hari-hari, sampai-sampai kawanku bertanya apa yang terjadi. Akulah raga yang baru saja kehilangan jiwa dan hati, kataku. Ah, aku baru menyadari aku cengeng. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan diriku yang dahulu. Sebabnya cinta, itulah dia.

Kala memasuki usia dewasa muda di akhir perkuliahan ini, aku tak pernah berharap akan merasakan sakit hati yang serupa lagi. Namun, takdir hidup tetap berjalan sesuai kehendaknya. Jikalau memang harus patah, pastilah patah. Maka aku tergugu lagi, sulit bicara. Aku duduk terpaku lagi, sulit mencerna kata-kata. Bukan sekali dua kali aku menangis. Banyak sekali, jauh lebih banyak daripada kala SMA dahulu padahal subjeknya kini hanya satu. Oh, tak aku lupa, yang dulu-dulu juga ikut menyumbangkan kegetiran hati. Aku terus menangis sampai stok air mataku habis. Pernahkah engkau mengalami kesedihan luar biasa sampai-sampai tak sanggup untuk menggerakkan kelenjar lakrimal yang bertanggung jawab atas air mata? Inilah aku, pagi ini. Pada puncak kesedihan, aku hanya bisa tersenyum getir karena sudah terlalu payah untuk menitikkan air mata. Barangkali diri ini sudah kebal merasakan sakit sehingga air mata tak lagi mendesak keluar.

Aku lelah, Ya Rabb.
Aku tak ingin menangis lagi.

Aku memohon pada-Mu, berilah aku ketegaran seperti masa remaja mudaku dahulu.

Salam,
Nadia Almira Sagitta

No comments:

Post a Comment