Thursday, October 22, 2015

Masih latar yang sama

5 April 2014 

Seorang kawan berkata padaku di hijaunya rerumputan klaster, "Aku turut senang dengan kehadirannya di hidupmu."

Ia senang lantaran aku tersenyum berbunga-bunga karena cinta. Aku dan dia lantas melempar pandang ke seberang. Ke danau. Kami diam menikmati semilir angin dan hangatnya mentari. Sibuk tenggelam dalam pikiran masing-masing. Memikirkan cinta yang diharap akan abadi.

2015

"Aku tidak suka kamu bergalau ria karena dia. Lupakan. Tidak ada gunanya ini semua."

Masih di klaster. Masih ada angin yang bertiup pelan. Masih ada mentari, walaupun sinarnya tak lagi lembut. Masih ada rumput, meskipun warnanya tak lagi hijau. Masih ditemani oleh kawan yang sama. Masih kamu yang menjadi topik perbincangan kami. Bedanya, tidak ada senyum pada wajahku. Tidak ada tatapan bahagia yang diberinya, tetapi pandangan yang justru menaruh kasihan.

Aku tersedu di lapangan rumput FIB UI. Aku luruh dan jatuh, hilang arah dan pegangan. Aku membiarkan semua pengunjung klaster menatapku bingung. Barangkali ada juga yang ikut menguping ceritaku. Tidak, aku tidak lagi peduli. Yang kupikirkan hanya aku dan waktu.

Betapa rentang setahun dapat membuatku beralih rasa.
Betapa rentang setahun dapat mengubah dukungan menjadi desakan.
Betapa rentang setahun dapat membuat seseorang yang dulu merentangkan senyum pada bibirku malah mengurai sendu pada wajah indahku.
Dan aku membiarkannya. 

--
Ditulis tanggal 22 Oktober 2015
Tidak mengandalkan sesak dan sakit, hanya ingatan.
Ingatan bahwa aku pernah terperosok seperti itu.

No comments:

Post a Comment