Hari ini aku melihat layang-layang. Mengangkasa seorang diri di langit biru. Seketika ingatanku tertuju pada suatu sore di bumi Sulawesi.
"Nadia, Fira, main layangan, yuk!"
"Ayo! Di mana, Ayah? Depan rumah?"
"Di jalan baru aja. Lebih luas."
"Bunda ikut?"
"Nggak, Bunda di rumah aja. Kalianlah yang pergi."
Jalan baru yang Ayah maksudkan itu jalan Hertasning Baru, tembusan Hertasning sampai Sungguminasa. Tanahnya masih merah, tetapi tidak lagi berbatu. Kami main layang-layang di sana. Aku memegang layang-layang berekor biru dan Ayah mencoba untuk menerbangkannya. Aku juga mencoba menerbangkan layang-layang dengan Fira yang menjadi pemegangnya.
Saat itu angin tidak begitu kencang jadi layang-layang kami terbang rendah. Aku, Ayah, dan Fira berteriak kegirangan ketika layang-layang kami meliuk-liuk tinggi di udara. Tak lama, ada seekor lelayang yang menghampiri layang-layang milik kami. Cieee, si layang-layang punya pacar! Dua layang-layang berarakan romantis di langit Hertasning. Hahaha.
"Itu layangannya mendekati punya kita terus, deh."
TASSSS!
"Yaaaah, yaaaah, layangan kita putus."
"Aduh, jahat juga, tuh, penerbangnya. Apa boleh buat. Kita pulang, yuk?"
"Besok main layangan lagi, Yah?"
"Iya, nanti beli lagi."
Hari ini aku melihat layang-layang. Pikiranku serta-merta terbang ke masa lalu. Ada dua tawa bahagia bocah perempuan yang tercipta karena usaha seorang Ayah. Kutatap layang-layang di cakrawala sekali lagi. Berimajinasi bahwa dirikulah yang mengangkasa menyentuh awan dan merasakan embusan udara dari atas sana.
Salam,
Nadia Almira
No comments:
Post a Comment